Jumat, 14 Oktober 2011

Catatan EGP


Tiga tahun yang lalu, diliputi oleh rasa malas, melas, dan mulas. Rasanya tak ingin hidup lagi. Bukan karena broken heart atau broken home, tapi karena begitu banyak tumpukan tugas kuliah hingga berlembar-lembar folio yang sama sekali belum kusentuh. Ditambah lagi nilai E yang jelas-jelas tak bisa ditutupi dengan sehelai kain. Yep…Nilai E di mata kuliah Functional Grammar 1.

Lembar per lembar kubuka, kulihat dengan telitinya kertas itu. Namun, tetap saja nilai E lagi yang kulihat. Kugigit bibir bawahku, aku lemah tak berdaya. Kulangkahkan kaki ini gontai menuju sebuah bangku panjang coklat di sebuah ruangan ber- AC. Tak sanggup rasanya ingin segera kutumpahkan air mata ini. Namun, untuk apa kutangisi suatu hal yang sudah terjadi.

“Ya Tuhan, apa salahku?”
“Berlembar-lembar tugas FG sudah kukerjakan, tapi apa yang aku dapat, hanya nilai E yang teramat menyakitkan dan memalukan.”
“Aku tak butuh IPK 3, aku hanya ingin nilai C saja. Itu cukup bagiku.”

Tetesan itu menetes perlahan membahasi kedua pipiku. Benar-benar menetes tanpa kuduga. Tak ada tempat untuk mengadu, tak ada tempat untuk berbagi. Bergejolak hatiku bukan karena aku falling in love tapi karena getting a bad score. Sulit rasanya melaporkan nilai E ini. Teramat sangat terpukul. Tiba-tiba sosok itu datang menghampiriku. Aku memang sudah terlanjur cinta dengannya.

“Hey, what’s going on?”
“Nothing, I am okay”
“Nooo, you are crying. Getting a bad score?”
“Hmmm….look that, E. Gak lulus FG 1.”
“Masih ada semester depan.”
“Seharusnya aku dapat nilai B, bukan E.”
“That’s life, you have face the truth.”
“Butttt, … ini gak adil. Kukumpulkan tugas mata kuliahku setiap pertemuan. Kenapa bisa seperti ini?”
“Hmmm, Tuhan sedang menguji kesabaranmu. Take it easy.”


Cuma kalimat “Take it Easy”… itu yang membuat aku belajar semuanya. Dari sebuah kegagalan yang pada ending-nya menjadi sebuah kesuksesan. Akhirnya nilai A pun ditangan.

Ada Doa Di Sajadah Cinta


Penat dan pekat kalau sudah membicarakan masalah munakahat (marriage). Apa yang sebenarnya aku cari setelah 23 tahun dinyatakan bebas dari arahan kedua orangtuaku. Bukan mencari bongkahan emas atau bahkan berlian. Hanya mencari kepastian dan kesederhanaan. Tak lebih tak kurang.

Tapi, masih adakah kedua hal itu di bumi ini, certainty and modesty? Jadi teringat sebuah hadis, perempuan yang baik diciptakan untuk laki-laki yang baik pula, atau bahkan sebaliknya. Banyak sosok yang aku dambakan, tapi hanya beberapa yang masuk dalam cengkeraman. Hingga kuputuskan untuk terus berdoa dan tetap menantinya. Meskipun seringkali desakan orangtua menghampiriku. Namun itu bukanlah suatu keharusan. Mengingat aku dilahirkan untuk mencari yang terbaik dari apa yang Tuhan berikan untukku. Kugelar sajadah cinta dan keluarlah sebait doa untuk-Nya.

“Ya Tuhan…aku tahu, aku hanya sekecil kutu, setipis lembaran kain, sekotor debu di padang pasir.”
“Ya Tuhan, belum cukupkah bagi-Mu menemani aku dengan begitu banyak cobaan bahkan ujian? Tak cukup pula kah bagi-Mu memisahkan aku dengan pasanganku?”
“Ya Tuhan, sejujurnya, aku tak kuasa lagi menahan siksa ini selama 7 tahun menantinya.”
“Perlukah aku menunggunya hingga putihnya rambutku, perlukah aku menantinya hingga keriputnya wajahku, lantas perlu pula kah aku menunggu kepastian yang tak berujung ini?”
“Aku tak butuh harta atau bahkan tahta.”
“Yang kubutuhkan hanya kepastian dan kesederhanaan.”
“Tuhan, mungkin ini doa terakhirku menjelang akhir umurku di 24.”
“Semoga Engkau melihat, mendengar, dan mengabulkan doaku di Jumat yang berkah ini.”
Amin.

Untitled


“Sakiiiit… Begini rasanya disakiti,” batinnya tersentak seketika.
“Memang salahku, tak berani katakan rasa ini.”
Kugigit bibir bawahku, sekuat tenaga kutahan genangan air mata.
“Katakan sekali lagi… biar yakin 100% telinga ini, memang dari dulu kau tak ada rasa sedikitpun padaku.”
Tetesan itu kurasakan, semakin dekat semakin berjatuhan.
“Dari awal jumpa, aku hanya ingin have fun denganmu, tak lebih dari itu.”
“HAH…?”
Hatiku bagaikan tersayat pisau belati, kutatap wajahnya intens, tak berkedip sekalipun.Luluh bercampur peluh
*isengdotcom*

Pengantin Baru, Seprai Baru...


  Nah lho…? Ada apa dengan pengantin baru? Apalagi sampai bawa-bawa seprei baru? Wah… itu sih sambung menyambung menjadi satu. Malahan bakal jadi obrolan yang enggak akan habis-habisnya buat diobrolin para the hottest new wife. Seperti cerita tentang si Julaleut (sebutan sayang) ini. Ehem… ehem… tes… tes…tu… wa… bang…
“Bang… kaki Neng pegel-pegel nih. Betis tambah gede aja. Berasa kayak tales Bogor. Besok kayak kentongan Pak Haji di depan rumah tuh.”
“ Neng, kan dari kemaren sampe sekarang udeh abang pijetin terus. Masak enggak hilang-hilang itu pegel?”
“Mana Neng tahu, Bang… pokoknya masih berasa pegel nih, Bang.”
“Panggil tukang pijet aje, Neng… biar cepet bae.”
“Enggak ah, mending dipijet sama si Mamah kalo begitu mah. Mana ada tukang pijet pagi buta begini udeh bangun, Bang.”

Suara Mamah, mertuaku... mengagetkanku seketika. Jelas saja aku terkejut, pintu kamarku diketuknya terlalu kencang.
TOK… TOK… TOK…
“Ome…udeh bangun belom? Buka pintunya… Ini Mamah.”
Ya Tuhan, siapa bilang itu suara kucing. Kami berdua juga tahu kalau yang ngomong itu Mamah. Lagian ngapain juga pagi-pagi buta si Mamah iseng banget sudah absen di di depan kamar kami.
“Iya, Mah… sebentar.”
DAG…  DIG… DUG… SER…!
Kuambil dasterku sembari tersenyum kepada suamiku, meskipun saat itu aku diliputi rasa cemas tingkat tinggi. Gugup rasanya untuk bertemu sang mertua setelah jadi menantunya.  dan beranjak dari tempat tidur membuka kunci pintu kamar.
KLEK… KLEK… KLEK…
“Ada apa, Mah? Kami sudah bangun sejak azan subuh tadi, sekalian shalat subuh berjamaah.”
“Dikira belum bangun! Itu cuma mau bilang, teh manis hangat sama gorengannya sudah ada di meja makan. Kalau La sama Ome mau sarapan bareng ya silakan, kalau mau sarapan di kamar juga enggak apa-apa.”
“Lho, kapan Mamah masak gorengannya?”
“Tadi Mamahmu yang masak.”
“Makasih ya, Mah… Bentar lagi kami siap-siap kok.”
Akhirnya, aku tidak tersendat-sendat dalam lisanku ketika menghadapi Mamah. Sebelumnya, memang sudah sering aku bercermin dan berbicara sendiri seolah-olah cermin itu adalah mertuaku. Jadi, patut diacungkan jempol bagiku karena aku lulus mengelabui Mamah di balik rasa galauku ini.
Saat itu, Ome, suamiku mengusap-usap bahuku dan membuyarkan lamunanku seketika. Aku pun berbalik padanya dan tersenyum lega. Ternyata dirinya pun merasakan hal yang sama dengan apa yang kurasakan.
“Neng, si Mamah nanya apa tadi? Kok lama amat kalian ngobrol?”
“Hihi, enggak apa-apa, Bang… Cuma di tanya mau sarapan bareng atau di kamar?”
“Oh…Ya udah cepet rapi-rapi. Kita sarapan bareng aja.”
“Iya, tapi tunggu bentar. Pengen banget buka kado dari sahabat Neng. Boleh?”
“Enggak ntar aja habis sarapan?”
“Pengen sekarang, bawaan perut kali, Bang.”
“Hihi… Ya udah, kita buka bareng-bareng.”
Kurang lebih hampir 1 jam, 10 kado dari sahabat sudah kubuka satu per satu. Sayangnya, dari ke-10 kado itu semuanya berbau-bau alat perkakas rumah tangga. Mulai dari sendok, garpu, talenan, centong nasi, gelas, piring, sampai kompor gas ada. Komplit lah, alhamdulillah. Tapi ada satu yang teramat sangat kuharapkan, bahkan sampai kuraba-raba semua kado ketika duduk di pelaminan. Memalukan bukan, tapi untungnya saja tak ada yang memerhatikan. Yuppp….Waktunya buka kado terakhir. “Semoga yang ini,” batinku.
“Neng, dari tadi kado udeh pada dibukain semua, tapi kok kamu the masih aja kayak orang penasaran?”
“Ih, abang enggak tahu sih…!”
“Gimana mau tahu, orang dari tadi khusyu banget buka kadonya.”
“Ya udeh, abang bantuin doa aja ya, semoga yang Neng lagi pegang ini, berhasil.”
“Hmmmm, dari niatnya aja dah buruk.”
“Buruk apaan sih, Bang.”
“Neng, kalau niat awalnya aja udah buruk, apalagi hasilnya.”
“Buruk…”
“Itu tahu, terus kenapa masih kayak orang tercekam, gelisah enggak jelas?”
Takdir berkata lain, mungkin benar apa yang dikatakan suamiku. Karena niat awalku saja sudah tidak lurus, jadi hasilnya enggak berkah. Kado terakhir itu ternyata pakaian bayi. Arrrggggghhhhhhh….kesalnya. Sudah kepalang kesal, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar kami.
TOK… TOK… TOK…
“La... Ome… kapan mau sarapan, keburu dingin nanti teh manisnya.”
Bergegas menuju pintu kamar. Kali ini Ome, suamiku yang membuka kunci pintu kamar.
“Teh, sebentar lagi kami turun kok. Ini, lagi buka-buka kado. Bilangin aja sama Mamah, sama Babeh kalau mau sarapan duluan aja.”
“Ya udah atuh…”
            Sambil sesekali melongok ke dalam kamar si Teteh meneriakiku.
“Neng, jangan lama-lama… Buka kado mah bisa ntar lagi. Nanti dibantuin.”
Aku pun membalasnya seolah-olah aku tinggal di hutan.
“Iya, Teh….”
Perjalanan yang cukup melelahkan. Padahal cuma buka kado saja. Itulah mungkin arti di balik kalimat yang suamiku ucapkan. Yang buruk-buruk itu akan berakhir pada yang buruk pula. “Oh Tuhan apakah salah aku mengharapkan sesuatu?” ucapku dalam hati. Aha… Tuhan masih berpihak kepadaku, akhirnya masih ada satu sahabatku yang berkunjung seusai aku sarapan bersama Mamah, Babeh, dan juga keluargaku.
            “Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…, eh… Nung… Masuk… Masuk.
“Hihi, maaf ya bertamunya pagi-pagi, soalnya habis ini ada acara lagi. Maaf kemarin Nung enggak sempet datang ke nikahan kamu.”
“Ya, enggak apa-apa, yang penting mah doanya, Nung.”
“Eh, ini…buat kamu, maaf yah kalau kurang suka. Mana Cuma satu lagi bawanya.”
“Ya ampun, repot-repot banget. Ih, udah dikasih aja makasih banget, Nung.”
“Oh iya, enggak bisa lama-lama, Jeng.”
“Ih, amit-amit. Baru juga datang. Udah buru-buru mau pulang.”
“Udah ditunggu, La. Ya udah, Nung pamit ya… Moga sakinah, mawadah, warahmah.”
“Hihi, amin ya rabbal alamin. Cepet nyusul ya, Nung.”
 Senangnya, ada kado lagi. Sasaran hangat dan empuk. Langsung buka di tempat akhirnya karena sudah tak sabar menunggu. Kali ini firasatku benar, akhirnya aku dapat seprei baru dari Nunung. Semua keluarga beranjak dari tempat duduknya ketika mendengar teriakanku. Dan semuanya tertawa.
JRENG… JRENG… JRENG….
“Asyiiiikkk, dapet seprei…dapet seprei….”
“Hahaha”

Tulalit... Tulalit... Tulalit


“Darinya Aku Terdampar”
“Darinya Aku Belajar Tegar”
“Darinya Pula Aku Tersadar”

Tiga tahun menjalin kasih. Tanpa ikatan. Tanpa kejelasan. Tanpa tahu suratan. Waktu dan waktu yang memisahkan kami. Meskipun terpisah, dunia tetap milik kami berdua. Seperti pepatah, jauh di mata, dekat di hati.

Hari itu, dentang lonceng berbunyi hingga belasan kali. Bersamaan bunyinya dengan HP ku. Sebuah kejutan yang kutunggu setahun ini.

08179******
Di mna Biji Ketumbar?

08131*******
Lenteng, Knp?

08179******
Tmnin gw nnton Green Hornet?

08131*******
Trnspot lo yg nanggung ya :)

08179******
Tng, koko baru dpt angpao

08131*******
Deal

08179******
Deal, pkl 14.00, CL

###

Everything That Counts can't Be Counted


Impossible!
Kata orang, patah hati itu rasanya sakit.
Kata orang, patah hati itu bikin naif.
Kata orang, patah hati itu bikin sensitif.
Kata orang, patah hati bisa bikin orang jungkir balik.
Kata orang lagi, patah hati itu bisa bikin bunuh diri.

HAH…?
Itulah yang terjadi pada diri saya. Meskipun saya dikelilingi banyak orang dewasa atau bahkan ibu-ibu muda yang sudah berkeluarga, tetap saja saya belum siap untuk patah hati bahkan ketika saya jatuh hati pada seorang pria nan menawan dan rupawan. Kenyataannya jauh sekali. Sejauh dirinya dan saya hingga saat ini. Sejauh sungai Gangga dan sungai Indus. Uhuk..uhuk… J
Suerrr…tekewer..kewer… sebenarnya saya agak sedikit keberatan untuk menyebutkan bahwa saya cinta sama dia. Kenapa? Nantilah saya ceritakan di penghujung cerita. Yang jelas saya suka sama seorang adam yang katanya mirip aktor India, sebut saja RM. Huaaaa…ganteng? 75% lah, tinggi? 81% lah, macho? 85% lah, gendut? 88%, romantis? 97% … Ternyata, kadar 97% itulah yang saya cari. Wanita mana yang tak suka dirinya dipuji? Wanita mana yang dirinya tak suka diberi puisi? Wanita mana pula yang dirinya tak suka diperlakukan bak putri? Jawabannya adalah karena ada rasa. Pertanyaan itu akan musnah apabila rasa itu punah.
Tibalah perjuangan seorang Sinta mencari Arjuna. Saya tak mengenal istilah ‘Arjuna Mencari Cinta’ atau ‘Kisah klasik Romeo dan Juliet’. Hingga akhirnya saya menjelajahi kota Metropolitan tahun 2004. Tahun di mana saya kali pertamanya menginjakkan kaki di kota Metropolitan yang terlihat sangat eksotis di malam hari. Sorot lampu taman di setiap sudut kota terlihat menakjubkan, dan sesekali terlihat begitu romantis dengan kerlap kerlipnya yang memancar ke segala penjuru. Pernah berkhayal seandainya ada kunang-kunang yang menghampiri saya di bawah kerlap kerlip lampu taman itu, alangkah bahagianya saya.
Khayal punya khayal, terjadilah saat takdir mempertemukan saya dengan RM. Bukan pertemuan yang biasa pada umumnya. Namun, pertemuan yang mungkin janggal bagi saya. Siang itu, saya enggak berniat sedikitpun untuk menonton program televisi. Hanya saja, kepala saya sudah terlalu penat dengan banyaknya tumpukan kertas putih. Maklum saja, namanya juga mahasiswi yang selalu dikelilingi oleh banyak tugas mata kuliah. Bukan penat karena banyak tumpukan kertas putih, tapi banyak terjemahan bahasa Inggris yang sulit dimengerti. Nyaris, saya kehilangan ide untuk mengerjakannya. Sayangnya ide itu pun keluar setelah beberapa menit program musik saya tonton. Ada sebuah running text yang sekilas saya baca tentang a handsome man yang berkirim salam untuk a beautiful lady. Sepertinya sudah almarhumah. Isi salamnya sangat menyentuh hati dan membuat saya sedikit bergidik ketika membaca running text tersebut.
Timbul berbagai pertanyaan di benak hati saya. Ada apa ya di balik salam si cowok itu? Apa si cowok itu baru patah hati? Kayaknya neh cowok, cintanya mentok banget sama tuh cewek, kok bias ya si cewek itu? Hmmm, penasaran yang begitu besar dan mendalam. Bukan sebuah kebetulan, RM saat itu mencantumkan nomor ponselnya. Saya pun berhasil mencatatnya. Bukan kurang kerjaan, tapi karena rasa kasihan. Saat itu juga, bergegas saya kirimkan sebuah SMS ke nomor ponsel itu dan sedikit ada respons. Tak apalah, baru awalnya saja.
Saya pun mulai sering mengirimkan SMS yang bertubi-tubi kepada RM. Mulanya biasa saja… (kayak lagu ya), tapi lambat laun ada rasa menyelinap di lubuk hati ini. Kok bisa? No, bukan pertanyaan ‘Kok bisa?’ tapi siapa yang bisa menolak saat cinta datang tiba-tiba. Siapa juga yang bisa menolak saat rasa tak kuasa untuk dibendung lagi. Tak ada sepertinya, ‘Love is Blind’. Tak mengenal usia, waktu, atau bahkan logika. Berawal dari curhat biasa, lama-lama obrolan kami semakin berbeda. Dari hal yangfunny, jadi suatu hal yang lovely. Di mana saya sangat merindukan SMS nya yang puitis dan melebihi pujangga. Saya hampir terkapar di kamar yang tak sedikitpun menyisakan ventilasi udara saat membaca SMS darinya. Untunglah masih ada satu celah kecil yang membuat saya masih bisa bernapas lega. Satu genteng yang bolong karena terlalu sering kena tetesan air hujan.   
Begitulah, makin sering curhat, makin sering tertawa bersama, perasaan saya kepada RM pun tumbuh subur bak tanaman yang senantiasa disirami, di beri pupuk, dan dipelihara tiap hari. Saat itulah, saya memutuskan untuk setia kepadanya. Namun, muncul keraguan pada saat yang bersamaan. Begitu banyak pertanyaan muncul. Namun, tak ada yang mampu menjawabnya. Apakah benar rasa ini tulus kepadanya? Apakah benar setia ini hanya untuknya? Apakah benar masa lajang ini harus diakhiri secepatnya? Terlalu banyak ‘apakah’, hingga saya memutuskan untuk beristikharah. Mohon petunjuk kepada-Nya.
Sebelumnya memang saya sudah sering mendengar kata ‘istikharah’ apabila mengalami keraguan atau mungkin ketidakyakinan dalam hati, tapi mengenal RM membuat saya benar-benar membuka lebar mata hati untuk segera melaksanakan shalat istikharah. Niatnya saat itu, supaya Allah Swt. memberitahukan kebaikan dan keburukan RM kepada saya. Sayangnya, saya terlanjur menaruh hati yang begitu teramat dalam hingga saya tak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang tulus atau mana yang butuh ‘imbalan’.
Tak hanya istikharah saja saya lakukan, puasa Senin-Kamis pun hampir menjadi makanan keseharian saya. Berhubung sewaktu kos dulu, teman sekamar saya memang sangat rajin beribadah, apalagi menjalankan puasa Senin-Kamis. Jadi, saya ketularan rajin puasa Senin-Kamis. Kali ini, niat yang saya panjatkan kepada-Nya berbeda. Saya mohon supaya Allah Swt. menunjukkan keburukannya. Kenapa?
Kurang lebih menjalin hubungan tiga bulan bersama RM, membuat saya sangat shock. Satu hal yang hingga saat ini masih jelas terekam di memory saya, RM untuk kali pertamanya mengkritik penampilan saya yang menurutnya unfashionable. Memang benar saya unfashionable, tapi saya masih merasa orang lain nyaman ketika berada di dekat saya. Hal itu sempat saya bantah dan RM tak menggubrisnya. Berlalulah saat-saat itu. Saya pun mulai berpikir keras, mengapa ia tega berkata seperti itu. Apakah fisik menjadi permasalahan yang sangat besar baginya. Sangat prinsipil kah? Sedikit demi sedikit, jawaban dari doa saya pun terjawab sudah.
Tenang rasanya hati ini. Hanya saja, saya masih belum bisa berpisah atau bahkan acuh kepadanya. Hidup saya seakan pucat, bagai langit tanpa awan. Gelap gulita. Tak berwarna. Saya pun kembali merajut ikatan sang Illahi. Saya semakin rajin melaksanakan shalat istikharah sembari berdoa. Dan Allah tunjukkan benar-benar jawaban dari semua doa saya. Siang itu, ia lagi-lagi mengajak saya kemovie theatre. Pada awalnya, memang selalu RM yang menguras habis kantong saku celananya untuk menjamu saya dengan fasilitas yang ada di kota Metropolitan. Dari berpindah Transjakarta hingga angkot kota. Dari rumah makan sederhana hingga rumah makan yang paling mewah. Semua RM yang mentraktir saya. Sayang, itu tak bertahan lama. Seiring berjalannya waktu, mungkin RM tahu bahwa saya mentok akan kehadirannya. Sebenarnya saya tak ingin suudzon terhadapnya. Namun, banyaknya pundi-pundi uang yang saya keluarkan ketika menghabiskan hari bersamanya, semakin jelas membuat saya berpikiran buruk kalau dia hanya memanfaatkan uang saya tanpa mau tahu perasaan hati saya saat itu.
Bayangkan saja selama tiga tahun, dengan polosnya saya belikan ia e-pulsa, makan enak di BK, nonton movie theater, hang-out bareng, padahal saya tak pernah sama sekali memberikan hasil jerih payah dari saya bekerja kepada orangtua. Hinanya saya hingga mementingkan kepentingan RM daripada kepentingan oranagtua sendiri. Nasi sudah menjadi bubur. Saya hanya bisa berpasrah diri dan dia, merenungi semua kesalahan fatal yang pernah terjadi dalam hidup saya karena menyukai RM tanpa logika. Biar Allah Swt. kelak akan menghakiminya.
Semakin sering saya berdoa dan beristikharah, semakin jelas pula Allah Swt. tunjukkan begitu banyak keburukan yang dimilikinya. Suka terlanjur suka, meskipun ada benci dan sesal telah mengenalnya, hati ini tak ingin berpisah darinya. Namun, apa artinya hidup dengannya tanpa ada rasa sedikitpun. Hanya menyiksa diri. Hanya menambah luka hati. Hanya mendekatkan diri pada patah hati.
Tidak ingin berkepanjangan, semuanya saya akhiri. Ini lebih adil baginya dan keluarga saya, meskipun kenyataanya saya teramat tersiksa. Saya jalani rutinitas seperti biasa. Tetesan air mata hampir menetes setiap kening saya menyentuh sajadah cinta. Entah pagi, siang, sore, ataupun malam hari. Meratapi semua yang telah terjadi. Merenungi kesalahan yang selama ini luput dari penglihatnan mata. Menyadari betapa hidup ini lebih bermakna tanpa kehadirannya. Mengakui bahwa cinta sejati tak bisa dibeli dengan apapun. Tak bisa dikotori dengan label bernama rupiah. Ia begitu suci, mungkin lebih suci nilainya dari sebongkah berlian.

Ya Tuhan, inikah mukjizat-Mu atas semua perih yang kurasakan. Ya Tuhan, inikah jawaban atas semua doa-doaku setiap malam. Ya Tuhan, inikah kehidupan baru yang harus aku jalani ke depannya. Sungguh aku tak bisa berkata apa-apa atas apa yang Kau berikan kepadaku. Mungkin aku hanyalah seorang hamba yang banyak meminta dan mengemis kepada-Mu. Namun, akan terus kuukir dan kuingat Kau di lubuk hati ini. Amin.

Saya pun terus belajar. Kali ini bukan hanya sekadar survive biasa tentang hidup, bukan sekadar membenahi diri, bukan sekadar menata emosi, bukan sekadar hidup tanpa dirinya. Bukan! Sekarang saya belajar untuk menjadi seorang wanita dewasa terbaik. Memiliki kematangan dalam berpikir, berkata, dan bertindak atas dasar logika. Bukan semata karena urusan ‘cinta’. Bukan semata mengindahkan agama. Semata-mata karena cinta Illahi. Dan percaya bahwa jodoh, rezeki, serta maut sudah ada yang menentukan. Tinggal kita berusaha untuk melangkah ke jalan yang diridhai Illahi. :)

“I am sure for one thing or that’s the way I think, I must change before I adapt to the way I am dictated. I just do not want to say that ‘Just when I think I have learned the way to live, life changes’. And not everything that counts in life can be counted.”
(Neng Sabila)

Everything That Counts can't Be Counted


Impossible!
Kata orang, patah hati itu rasanya sakit.
Kata orang, patah hati itu bikin naif.
Kata orang, patah hati itu bikin sensitif.
Kata orang, patah hati bisa bikin orang jungkir balik.
Kata orang lagi, patah hati itu bisa bikin bunuh diri.

HAH…?
Itulah yang terjadi pada diri saya. Meskipun saya dikelilingi banyak orang dewasa atau bahkan ibu-ibu muda yang sudah berkeluarga, tetap saja saya belum siap untuk patah hati bahkan ketika saya jatuh hati pada seorang pria nan menawan dan rupawan. Kenyataannya jauh sekali. Sejauh dirinya dan saya hingga saat ini. Sejauh sungai Gangga dan sungai Indus. Uhuk..uhuk… J
Suerrr…tekewer..kewer… sebenarnya saya agak sedikit keberatan untuk menyebutkan bahwa saya cinta sama dia. Kenapa? Nantilah saya ceritakan di penghujung cerita. Yang jelas saya suka sama seorang adam yang katanya mirip aktor India, sebut saja RM. Huaaaa…ganteng? 75% lah, tinggi? 81% lah, macho? 85% lah, gendut? 88%, romantis? 97% … Ternyata, kadar 97% itulah yang saya cari. Wanita mana yang tak suka dirinya dipuji? Wanita mana yang dirinya tak suka diberi puisi? Wanita mana pula yang dirinya tak suka diperlakukan bak putri? Jawabannya adalah karena ada rasa. Pertanyaan itu akan musnah apabila rasa itu punah.
Tibalah perjuangan seorang Sinta mencari Arjuna. Saya tak mengenal istilah ‘Arjuna Mencari Cinta’ atau ‘Kisah klasik Romeo dan Juliet’. Hingga akhirnya saya menjelajahi kota Metropolitan tahun 2004. Tahun di mana saya kali pertamanya menginjakkan kaki di kota Metropolitan yang terlihat sangat eksotis di malam hari. Sorot lampu taman di setiap sudut kota terlihat menakjubkan, dan sesekali terlihat begitu romantis dengan kerlap kerlipnya yang memancar ke segala penjuru. Pernah berkhayal seandainya ada kunang-kunang yang menghampiri saya di bawah kerlap kerlip lampu taman itu, alangkah bahagianya saya.
Khayal punya khayal, terjadilah saat takdir mempertemukan saya dengan RM. Bukan pertemuan yang biasa pada umumnya. Namun, pertemuan yang mungkin janggal bagi saya. Siang itu, saya enggak berniat sedikitpun untuk menonton program televisi. Hanya saja, kepala saya sudah terlalu penat dengan banyaknya tumpukan kertas putih. Maklum saja, namanya juga mahasiswi yang selalu dikelilingi oleh banyak tugas mata kuliah. Bukan penat karena banyak tumpukan kertas putih, tapi banyak terjemahan bahasa Inggris yang sulit dimengerti. Nyaris, saya kehilangan ide untuk mengerjakannya. Sayangnya ide itu pun keluar setelah beberapa menit program musik saya tonton. Ada sebuah running text yang sekilas saya baca tentang a handsome man yang berkirim salam untuk a beautiful lady. Sepertinya sudah almarhumah. Isi salamnya sangat menyentuh hati dan membuat saya sedikit bergidik ketika membaca running text tersebut.
Timbul berbagai pertanyaan di benak hati saya. Ada apa ya di balik salam si cowok itu? Apa si cowok itu baru patah hati? Kayaknya neh cowok, cintanya mentok banget sama tuh cewek, kok bias ya si cewek itu? Hmmm, penasaran yang begitu besar dan mendalam. Bukan sebuah kebetulan, RM saat itu mencantumkan nomor ponselnya. Saya pun berhasil mencatatnya. Bukan kurang kerjaan, tapi karena rasa kasihan. Saat itu juga, bergegas saya kirimkan sebuah SMS ke nomor ponsel itu dan sedikit ada respons. Tak apalah, baru awalnya saja.
Saya pun mulai sering mengirimkan SMS yang bertubi-tubi kepada RM. Mulanya biasa saja… (kayak lagu ya), tapi lambat laun ada rasa menyelinap di lubuk hati ini. Kok bisa? No, bukan pertanyaan ‘Kok bisa?’ tapi siapa yang bisa menolak saat cinta datang tiba-tiba. Siapa juga yang bisa menolak saat rasa tak kuasa untuk dibendung lagi. Tak ada sepertinya, ‘Love is Blind’. Tak mengenal usia, waktu, atau bahkan logika. Berawal dari curhat biasa, lama-lama obrolan kami semakin berbeda. Dari hal yangfunny, jadi suatu hal yang lovely. Di mana saya sangat merindukan SMS nya yang puitis dan melebihi pujangga. Saya hampir terkapar di kamar yang tak sedikitpun menyisakan ventilasi udara saat membaca SMS darinya. Untunglah masih ada satu celah kecil yang membuat saya masih bisa bernapas lega. Satu genteng yang bolong karena terlalu sering kena tetesan air hujan.   
Begitulah, makin sering curhat, makin sering tertawa bersama, perasaan saya kepada RM pun tumbuh subur bak tanaman yang senantiasa disirami, di beri pupuk, dan dipelihara tiap hari. Saat itulah, saya memutuskan untuk setia kepadanya. Namun, muncul keraguan pada saat yang bersamaan. Begitu banyak pertanyaan muncul. Namun, tak ada yang mampu menjawabnya. Apakah benar rasa ini tulus kepadanya? Apakah benar setia ini hanya untuknya? Apakah benar masa lajang ini harus diakhiri secepatnya? Terlalu banyak ‘apakah’, hingga saya memutuskan untuk beristikharah. Mohon petunjuk kepada-Nya.
Sebelumnya memang saya sudah sering mendengar kata ‘istikharah’ apabila mengalami keraguan atau mungkin ketidakyakinan dalam hati, tapi mengenal RM membuat saya benar-benar membuka lebar mata hati untuk segera melaksanakan shalat istikharah. Niatnya saat itu, supaya Allah Swt. memberitahukan kebaikan dan keburukan RM kepada saya. Sayangnya, saya terlanjur menaruh hati yang begitu teramat dalam hingga saya tak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang tulus atau mana yang butuh ‘imbalan’.
Tak hanya istikharah saja saya lakukan, puasa Senin-Kamis pun hampir menjadi makanan keseharian saya. Berhubung sewaktu kos dulu, teman sekamar saya memang sangat rajin beribadah, apalagi menjalankan puasa Senin-Kamis. Jadi, saya ketularan rajin puasa Senin-Kamis. Kali ini, niat yang saya panjatkan kepada-Nya berbeda. Saya mohon supaya Allah Swt. menunjukkan keburukannya. Kenapa?
Kurang lebih menjalin hubungan tiga bulan bersama RM, membuat saya sangat shock. Satu hal yang hingga saat ini masih jelas terekam di memory saya, RM untuk kali pertamanya mengkritik penampilan saya yang menurutnya unfashionable. Memang benar saya unfashionable, tapi saya masih merasa orang lain nyaman ketika berada di dekat saya. Hal itu sempat saya bantah dan RM tak menggubrisnya. Berlalulah saat-saat itu. Saya pun mulai berpikir keras, mengapa ia tega berkata seperti itu. Apakah fisik menjadi permasalahan yang sangat besar baginya. Sangat prinsipil kah? Sedikit demi sedikit, jawaban dari doa saya pun terjawab sudah.
Tenang rasanya hati ini. Hanya saja, saya masih belum bisa berpisah atau bahkan acuh kepadanya. Hidup saya seakan pucat, bagai langit tanpa awan. Gelap gulita. Tak berwarna. Saya pun kembali merajut ikatan sang Illahi. Saya semakin rajin melaksanakan shalat istikharah sembari berdoa. Dan Allah tunjukkan benar-benar jawaban dari semua doa saya. Siang itu, ia lagi-lagi mengajak saya kemovie theatre. Pada awalnya, memang selalu RM yang menguras habis kantong saku celananya untuk menjamu saya dengan fasilitas yang ada di kota Metropolitan. Dari berpindah Transjakarta hingga angkot kota. Dari rumah makan sederhana hingga rumah makan yang paling mewah. Semua RM yang mentraktir saya. Sayang, itu tak bertahan lama. Seiring berjalannya waktu, mungkin RM tahu bahwa saya mentok akan kehadirannya. Sebenarnya saya tak ingin suudzon terhadapnya. Namun, banyaknya pundi-pundi uang yang saya keluarkan ketika menghabiskan hari bersamanya, semakin jelas membuat saya berpikiran buruk kalau dia hanya memanfaatkan uang saya tanpa mau tahu perasaan hati saya saat itu.
Bayangkan saja selama tiga tahun, dengan polosnya saya belikan ia e-pulsa, makan enak di BK, nonton movie theater, hang-out bareng, padahal saya tak pernah sama sekali memberikan hasil jerih payah dari saya bekerja kepada orangtua. Hinanya saya hingga mementingkan kepentingan RM daripada kepentingan oranagtua sendiri. Nasi sudah menjadi bubur. Saya hanya bisa berpasrah diri dan dia, merenungi semua kesalahan fatal yang pernah terjadi dalam hidup saya karena menyukai RM tanpa logika. Biar Allah Swt. kelak akan menghakiminya.
Semakin sering saya berdoa dan beristikharah, semakin jelas pula Allah Swt. tunjukkan begitu banyak keburukan yang dimilikinya. Suka terlanjur suka, meskipun ada benci dan sesal telah mengenalnya, hati ini tak ingin berpisah darinya. Namun, apa artinya hidup dengannya tanpa ada rasa sedikitpun. Hanya menyiksa diri. Hanya menambah luka hati. Hanya mendekatkan diri pada patah hati.
Tidak ingin berkepanjangan, semuanya saya akhiri. Ini lebih adil baginya dan keluarga saya, meskipun kenyataanya saya teramat tersiksa. Saya jalani rutinitas seperti biasa. Tetesan air mata hampir menetes setiap kening saya menyentuh sajadah cinta. Entah pagi, siang, sore, ataupun malam hari. Meratapi semua yang telah terjadi. Merenungi kesalahan yang selama ini luput dari penglihatnan mata. Menyadari betapa hidup ini lebih bermakna tanpa kehadirannya. Mengakui bahwa cinta sejati tak bisa dibeli dengan apapun. Tak bisa dikotori dengan label bernama rupiah. Ia begitu suci, mungkin lebih suci nilainya dari sebongkah berlian.

Ya Tuhan, inikah mukjizat-Mu atas semua perih yang kurasakan. Ya Tuhan, inikah jawaban atas semua doa-doaku setiap malam. Ya Tuhan, inikah kehidupan baru yang harus aku jalani ke depannya. Sungguh aku tak bisa berkata apa-apa atas apa yang Kau berikan kepadaku. Mungkin aku hanyalah seorang hamba yang banyak meminta dan mengemis kepada-Mu. Namun, akan terus kuukir dan kuingat Kau di lubuk hati ini. Amin.

Saya pun terus belajar. Kali ini bukan hanya sekadar survive biasa tentang hidup, bukan sekadar membenahi diri, bukan sekadar menata emosi, bukan sekadar hidup tanpa dirinya. Bukan! Sekarang saya belajar untuk menjadi seorang wanita dewasa terbaik. Memiliki kematangan dalam berpikir, berkata, dan bertindak atas dasar logika. Bukan semata karena urusan ‘cinta’. Bukan semata mengindahkan agama. Semata-mata karena cinta Illahi. Dan percaya bahwa jodoh, rezeki, serta maut sudah ada yang menentukan. Tinggal kita berusaha untuk melangkah ke jalan yang diridhai Illahi. :)

“I am sure for one thing or that’s the way I think, I must change before I adapt to the way I am dictated. I just do not want to say that ‘Just when I think I have learned the way to live, life changes’. And not everything that counts in life can be counted.”
(Neng Sabila)

1/2 Pantatku


… kebayang enggak sih kebagiaan tempat duduk di angkot hanya ½ pantat?
Masya Allah, enggak kukuh pegalnya. Habis mau bagaimana lagi, wong keadaannya memang harus seperti itu. Mau bilang “GESER DONG DIKIT!” kayaknya enggak mungkin banget, mau geser ke mana, ke kanan… kasihan yang duduk paling pojok, ke kiri… bisa-bisa aku bonyok! Mau untung malah jadi buntung. Beginilah nasib anak sekolahan, naik angkot selalu tertindas.
             Ceritanya begini, duluuu sekaliii….
            Sejak naik kelas tiga SMA, aku rajin banget tiba di sekolah bersamaan dengan bel sekolah yang berdentang. Yup, pukul 6.45. Entah kenapa ketika menjajaki kelas tiga SMA, aku selalu tiba di sekolah tepat pukul 7.00. Mungkin bawaan otak kali yah. Bisa jadi juga karena sering makan otak-otak di kantin sekolah yang murah meriah sampai muntah. Lho apa hubungannya? Ada sih sedikit, karena rajin makan otak-otak, aku jadi malas. Nah lho? Harusnya kan bisa fresh dan rajin ke sekolah, tapi kenapa jadi malas yah? Bukannya otak-otak dicampur dengan olahan ikan segar? Alasannya, karena otakku sudah diperas (emangnya cucian basah, pakai segala diperas) di sekolah selama kurang lebih 8 jam, dari pukul 7.00 sampai pukul 15.00. Mulai  belajar pukul 7.00 sampai pukul 12.00, sisanya dipakai untuk les tambahan. Bukan les tambahan seperti yang dilakukan anak-anak elite, tapi hanya sekadar pendalaman materi di sekolah saja. Itulah alasan kenapa aku sangat hobi sekali tiba di sekolah pukul 7.00.
            Sejauh ini, aku tidak pernah menyesal karena namaku masuk buku agenda siswa-siswi yang tiba di sekolah terlambat. Sayangnya, pagi itu aku teramat sangat menyesal. Tapi penyesalan itu mendadak jadi sepenggal kisahku yang konyol jika aku mengingatnya saat ini. Penasaran kan? Baiklah, sebelum lupa membaca cerita saya akibat prolog yang terlampau panjang dan ngalor-ngidul alias ke sana kemari enggak jelas, silakan simak “½ Pantatku” versi Saya. Jangan lupa, bacanya bismillah terlebih dahulu, yak (sebenarnya mau mengaji atau baca cerita sih?) Hehe.
            Suerrr, pagi tengah buta saat itu, aku sudah seharusnya siap-siap berangkat ke sekolah. Sayangnya, peralatan tulis menulisku belum sempat kurapikan. Kartu ujianku mendadak hilang. Belum lagi, sepatuku yang kebasahan, akibat aku mencucinya di sore hari dan tak ada sinar matahari. Arrrrggggghhhh, kesalnya. Biasanya aku tak seperti itu, aku seorang yang terencana (beratnya ini kata, melebihi beratnya beban hidupku, lebay amat ya?). Mungkin karena hari pertamaku menghadapi ujian akhir nasional, mendadak aku grogi dan serba salah. Alhasil, grogi dan serba salah itu berlanjut hingga aku naik angkot. Seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah, aku tak lupa untuk minta uang jajan dulu sama si Mamah (sebutan tercintah untuk ibuku). Padahal, uang jajannya enggak banyak banget, cuma Rp. 5.000,-
            “De, pensil 2B udah diraut? Udah dibawa dua-duaanya? Penghapus jangan sampai ketinggalan. Terus, kartu ujian udah dimasukin ke tas? Bawa buku pelajarannya, biar bisa baca-baca di sekolah, jangan kebanyakan merhatiin orang. Ditanya, malah diem aja?”
Nih, orangtua rempong banget ya. Terus... terus... terus tidur di dalam kelas biar otak fresh waktu lihat soal UAN, celetukku dalam hati.
“Iya, udah semua. Ada sih yang belum, uang jajan mana, Mah?”
“Enggak usah dibilang juga, bakalan Mamah kasih.”
“Iya, cepetan, Mah. Rp. 5000,-”
“Jangan lupa, isi soalnya jangan buru-buru. Biarin orang lain ke luar kelas duluan. Diperiksa sampai waktunya habis. Dengar enggak, De?” kata Mamah sembari memberikan uang Rp. 5.000,- kepadaku.
“Iya,” ucapku sembari mencium punggung tangan dan keningnya. HAH? Berkali-kali diperiksa? Baca sekali aja udah mabok, apalagi berkali-kali… yang ada malah tambah butek, hati kecilku bernyanyi merdu.
             SWING….
            Melesat aku bagai kilat. The Flash saja lewat. Akhirnya aku sampai juga di depan gang. Kita sebut nama gangnya, Kepuh II. Gang yang selalu ramai dipenuhi oleh orang-orang yang hendak beraktivitas. Dari mulai ibu-ibu, bapak-bapak, karyawan-karyawati, pedagang sayuran, bahkan pedagang ikan pindang pun ada. Gang ini seperti pasar ya, sampai ada pedagang segala. Perlu diketahui kalau yang tidak terlalu dominan terlihat di gang ini adalah anak sekolahan. Maklum saja, anak-anak sekolahan sepantaran aku, biasanya mereka hanya berjalan kaki ke sekolahnya. Kebanyakan dari mereka memilih sekolah yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Mungkin terbentur oleh biaya transportasi, jadi enggak harus pakai angkot segala. Kebanyakan dari mereka juga, memiliki orangtua yang hanya berprofesi sebagai petani atau nelayan. Kalian bisa mengiranya sendiri berapa penghasilan mereka per harinya. Sedih rasanya apabila melihat keadaan mereka yang terpaksa untuk tidak melanjutkan sekolah setelah tamat SD.
Aku termasuk yang beruntung lah. Lanjut lagi ke ceritaku ya. Transportasi di daerahku terbilang sangat sulit. Mengingat letak daerah yang terpencil dari pusat kota. Alhasil, aku harus bersembunyi di balik tubuh mbak-mbak dan mas-mas yang akan pergi kerja menggunakan jasa supir angkot agar aku bisa naik angkotnya. Bayangkan? Bak anak kecil yang sedang main petak umpat, kan? Begitulah keseharianku sewaktu SMA dulu.
Kali itu, mengingat UAN mulai pukul 7.30, aku harus pintar bersembunyi di balik mbak-mbak dan mas-mas itu. Berhasil akhirnya. Ada salah satu tetangga si Mamah yang kebetulan akan pergi kerja searah denganku. Aku pun meminta izinnya agar menyembunyikan aku di balik tubuhnya.
“Mbak, aku boleh enggak ikutan nebeng Mbak naik angkot?”
“Lho, kan tinggal naik aja.”
Aduuuh, si mbak ini gimana sih. Naik ke atas pohon sih, iya aja, bebas. Ini kan mau naik angkot. Dijamin 100% kalau si angkotnya enggak akan berhenti, waktu lihat anak sekolah mau naik, apalagi anak sekolahnya kayak aku. Hitam, kekar, berjerawat, parahnya lagi hidup. Jangan lupa tambahin manis. Hehe.
“Ya udah Mbak, bareng ya!” senyum meringis ketakutan.
Si Mbak itu pun enggak lama memberhentikan angkot R.15 jurusan Sangiang-Cimone. Angkot itulah yang akan mengantarkanku ke sekolah. Saat angkot itu berhenti, leganya hatiku. Bahkan saat itu, tak terbesit sedikit pun ketakutanku akan UAN. Yang penting naik angkot dulu. Hehe. Sayangnya, ketika angkot berhenti, ternyata angkot itu sudah penuh sesak. Hanya tersisa dua tempat duduk. Sebelah kanan dan kiri. Sempat terjadi gontok-gontokan dengan penumpang lain yang akan naik angkot tersebut. Namun, mereka tidak berhasil. Si Mbak itu pun akhirnya naik dan memilih duduk di belakang Pak Supir (untuk penumpang berkapasitas 6 orang). Aku…? Di mana ya? Yang jelas bukan di bumperbelakang mobil. Aku duduk di sebelah kiri (untuk penumpang berkapasitas 4 orang). Di saat itulah, suasana mencekam terjadi.
BUUUUK
Seperti itulah bunyinya, meskipun kenyataannya tidak seperti itu. Aku hanya mengikuti yang lain saja sewaktu menulis bunyi suara orang sedang duduk.
Masya Allah, ketika aku duduk ternyata hanya kebagian ½ pantat saja. Enggak lebih enggak kurang. Pas di tengah-tengahnya. Untungnya dapat di pinggiran, jadi bisa pegangan ke pegangan atas mobil. Untung boleh untung tetap saja enggak nyaman duduknya. Mau nyaman bagaimana kalau seluruh penumpang di angkot itu memerhatikan cara dudukku yang miring sana miring sini, enggak karuan. Terpaksa deh aku gunakan kakiku untuk menahan tubuhku agar seimbang sewaktu duduk. Mau bilang “Geseran bisa enggak?” ada rasa segan karena aku hanya anak sekolahan, yang kalau bayar angkot pasti selalu dikira murah meriah. Berbeda dengan tarifnya karyawan-karyawati. Lagian juga, kalau geser ke kanan, kasihan penumpang yang di pojok, kalau gesernya ke kiri, akunya yang jadi bonyok. Enggak sekalian aja di lempar ke luar. Jadi, mengalah saja lah aku. 
Lagi dalam keadaan mencekam, tiba-tiba saja aku merasa masuk angin. Bagaimana enggak masuk angin, pergi dari rumah aku belum sarapan dan aku duduk di dekat pintu. Otomatis udara masuksemriwing dan mengenaiku. Aku mulai merasa panas dingin. Gemetar tanganku. Sedikit berkeringat. Ada hal yang rasanya ingin sekali ku keluarkan saat itu. Sepertinya akan sangat membantuku mengurangi rasa mual di perutku. Coba ditebak? Yup, benar. Aku benar-benar ingin mengeluarkan gas beracun yang berbentuk abstrak itu. Namun, apa tidak keterlaluan jika aku mengeluarkannya di dalam angkot? Pikiran itu sejenak terlintas di pikiranku. Untuk mengalihkan pandangan para penumpang lain agar tidak memerhatikanku, kuajak si Mbak itu ngobrol.
“Mbak, masuk kerja pukul berapa?”
“Pukul 08.00, De.”
“Oh… enak ya, Mbak. Nyantai. Terus, habis naik angkot ini, naik angkot apa lagi?” Sesekali aku membenarkan posisi dudukku.
“Naik angkot R 03,” sembari tersenyum kepadaku.
“Yang jurusan Kotabumi-Pasar Baru ya?”
“Ya, kok tahu?”
“Dulu pernah naik angkot itu, waktu ke Pasar Baru sama Mamah.”
Tiba-tiba aku sudah tak sanggup lagi. Kebetulan angkot itu sebentar lagi akan tiba di depan sekolahku. Jadi, aku pun menghembuskannya pelan-pelan.
TUUUT… BREEET… BREEET
Ya ampun, gol beneran ternyata. Lega sekali rasanya. Akhirnya angin itu keluar dengan lancarnya, bebas hambatan, seperti jalan tol. Hihi. Dan ada satu penumpang yang saat itu komplain karena mencium sesuatu yang teramat “menjanjikan”.
 Si Mbak berbaju ungu itu menutup hidungnya. “Bau apa ya?” matanya melirik ke penumpang di sebelahnya, yang ternyata teman kerjanya.
            Si Mbak berkerudung merah pun meresponsnya. “Iya ya, kayak bau kentut.”
            “Bau kentutku tahu, maaf ya,” batinku berkata.
 “Kamu kentut kali?”
“Enak aja, bau telor ayam kampung, busuk  banget. Kayak enggak pernah BAB nih baunya.”
“Hahaha…,” mereka tertawa cekikikan tanpa arah.
Hwuaaaaaaaaaaaa…. TER… LA… LU
Bergegas, kuberhentikan angkot itu karena sudah tiba di depan sekolah. Dan aku pun turun dengan terbirit-birit. Merasa masih kucium bau tak sedap dari gas beracun itu. Sampai-sampai kedua Mbak itu menutup hidungnya hingga aku turun dari angkot. Begitupun denganku. Kututup hidungku hingga aku turun dari angkot untuk menyembunyikan identitasku kalau bukan aku pelakunya. Hehehe.
“STOP, Pak…,” kataku sembari kukeluarkan uang sebesar Rp. 1.500,-
Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku sangat senang karena meskipun aku duduk hanya kebagian separuh saja, mereka masih bisa merasakan penderitaanku. Berbagi gas beracun yang baunya melebihi telor ayam kampung busuk. Kesenangan ini, mampu membuatku lupa kalau sebenarnya ½ pantatku masih terasa pegal dan cenat cenut! :)

Ki Jalu



Ki Jalu seorang tua renta yang berhati emas dan mulia. Ia tinggal di sebuah rumah gubuk yang terbuat dari jerami di Desa Pucung. Ia tinggal di gubuk itu sebatang kara tanpa sanak saudara. Sehari-hari Ki Jalu hanya mengandalkan tenaganya untuk menebang kayu-kayu di hutan. Terkadang, ia membantu para petani memetik sayuran di kebun. Dengan hasil jerih payahnya dari hutan dan kebun, ia manfaatkan untuk membeli makanan dan minuman. Sedangkan sisanya ia berikan kepada para tetangganya yang kurang mampu atau sangat membutuhkan. Meskipun Ki Jalu dalam keadaan serba pas-pasan namun rasa untuk menolong terhadap sesama patut diacungkan jempol. Meskipun tidak dengan uang ia menolong orang lain, hanya dengan tenaganya, ia merasa sangat senang apabila dapat menolong orang lain. Apapun akan diusahakannya apabila ada orang yang meminta pertolongan. Dengan senang hati ia akan melakukannya tanpa pamrih sedikitpun.
Sesampainya di gubuk, terlintas dipikirannya untuk mengunjungi sanak saudaranya yang tinggal di Desa Cuangi, karena sudah bertahun-tahun Ki Jalu tidak pernah mengunjungi sanak saudaranya itu. Hingga akhirnya, Ki Jalu memutuskan untuk berkemas-kemas meninggalkan Desa Pucung untuk beberapa hari. Sebelum meninggalkan Desa Pucung, ia sempat berpamitan kepada para tetangganya supaya selamat sampai tujuan. Hampir semua tetangganya merasa kehilangan Ki Jalu, karena budi baiknya yang tidak pernah mereka lupakan. Ki Jalu pun akhirnya meninggalkan Desa Pucung tersebut dengan berjalan kaki. Ia tidak mempunyai uang sepeserpun untuk memesan karcis ataupun tiket bis. Sebelum pergi, ia sudah memasrahkan nasibnya kepada sang Pencipta dengan apa yang akan terjadi. Rasa percaya serta keyakinannya merupakan senjata bagi Ki Jalu.
Saat itu, matahari berada tepat di atas ubun-ubun kepala Ki Jalu. Ia mulai terasa lelah dan tubuhnya penuh dengan cucuran keringat. Tak ada keluhan sedikitpun terucap dari mulutnya. Hanya raut wajah yang penuh dengan senyuman dan kedamaian terpancar saat itu. Unutk menghilangkan rasa lelahnya, sejenak ia berteduh di bawah pohon yang amat besar dan rindang. Dengan satu botol air minum di buntelan tasnya, sedikit demi sedikit ia meneguk air tersebut. Ia membayangkan betapa senangnya dapat bertemu kembali dengan sanak saudara yang telah ditinggalkannya bertahun-tahun. Tak lama kemudian, tergerak hatinya untuk meneruskan perjalanannya. Ia pun akhirnya bangkit dengan membawa buntelan tasnya dan meninggalkan tempat peristirahatan tersebut.  
Hampir tiga jam lebih Ki Jalu menempuh perjalanan dari Desa Pucung ke Desa Cuangi. Ia hanya memerlukan satu jam lagi untuk sampai di Desa Cuangi. Saat itu, Ki Jalu menemui banyak orang yang bekerja sebagai seorang petani sayur-mayur dan buah-buahan. Tepatnya, Desa Cuangi memang sangat terkenal dengan daerah penghasil sayur-mayur dan buah-buahan karena terletak di dataran tinggi dengan udara yang sejuk tanpa polusi sedikitpun. Ki Jalu pun sejenak menghirup udara yang sejuk tersebut dan memandangi dataran tinggi dengan mata terbelalak. Ia seolah-olah sedang menyaksikan takjubnya dunia yang selama ini tak pernah ia rasakan. Tapak demi tapak selalu membekas di hatinya, seakan tak ingin meninggalkan dunia yang begitu indah secepatnya.
Tanpa terasa, sampailah ia di sebuah hutan yang penuh dengan semak belukar dan suara-suara yang aneh. Pada saat itu sang Pencipta sedang menguji kebaikan hatinya karena selama Ki Jalu hidup rasa menolong sesama selalu melekat di hatinya. Tiba-tiba saja Ki Jalu merasa ketakutan dan hilang akal. Ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Meskipun dalam keadaan takut ia tetap tenang dan terus mengingat sang Pencipta untuk melindunginya dari bahaya apapun. Kemudian, ia dikejutkan dengan seekor ular raksasa yang meminta tolong kepadanya. Matanya terbelalak dan mulutnya memuji kebesaran sang Pencipta. Tak dapat dihindari bahwa ia amat ketakutan, namun sikap tenang dan rasa yakin bahwa ada yang selalu melindunginya menjadi senjata ampuh baginya. Saat itu, ular tersebut berada dalam keadaan bahaya. Rasa takut akan api yang menyala-nyala membuat ular tersebut meminta tolong kepada Ki Jalu untuk membebaskannya dari nyala api di hutan tersebut. Namun, Ki Jalu merasa bingung dengan cara apa ia menyelamatkan ular raksasa tersebut. Ular itu akhirnya berbicara kepada Ki Jalu.
“Wahai Tua Renta, maukah kau menyelamatkan nyawaku dari api yang berkobar-kobar itu?”ujar ular raksasa tersebut.
Karena sehari-hari Ki Jalu selalu berbuat baik terhadap sesama dan senang untuk menolong seseorang dari kesusahan. Ia pun menolong ular raksasa tersebut tanpa memandang siapakah ular raksasa itu.
“Wahai ular raksasa, aku akan menolongmu dari kobaran api tersebut. Namun, bagaimana caranya? Engkau bertubuh raksasa dan aku pun sulit untuk mengangkat tubuhmu,” kata Ki Jalu.
“Tenang saja Ki, aku bisa mengecilkan tubuhku melebihi ukuran cacing tanah,” ujar si ular.
“Oh, kalau begitu cepat sekarang engkau kecilkan tubuhmu, sebelum api tersebut merambat ke daerah ini,” ujar si Ki Jalu.
“Baik Ki,” kata ular.
Ki Jalu pun sesaat tak percaya bahwa ular raksasa tersebut telah mengecilkan tubuhnya. Apa yang dilihatnya saat itu seolah-olah adalah mimpi yang tak pernah dialami dalam hidupnya. Setelah melihat ular raksasa tersebut berubah melebihi ukuran cacing tanah, ia bergegas mendekati ular tersebut untuk mengikuti perintah selanjutnya.
“Ki, aku sudah merubah ukuranku menjadi lebih kecil. Nah, sekarang Ki ambil sebuah karung di dekat pohon besar itu, lalu masukkan aku ke dalam karung tersebut dan ikat dengan kencang menggunakan akar pohon itu. Apakah kau mengerti Ki?” kata ular.
“Ya, baiklah. Aku akan memasukanmu ke dalam karung itu sekarang dan mengikatnya.”
Ki Jalu pun akhirnya berhasil menyelamatkan ular raksasa tersebut dan membawa jauh bungkusan karung itu dari kobaran api yang menyala-nyala. Kemudian, Ki Jalu pun melepaskan ular raksasa tersebut dari dalam karung. Ular raksasa itu pun kembali ke wujud asalnya. Namun, untuk kedua kalinya ia meminta Ki Jalu menolongnya lagi. Kali ini, ular tersebut merasa lapar dan meminta Ki Jalu sebagai korbannya.
“Wahai, Ki…bolehkah aku minta tolong lagi?”, ujar ular.
“Ya, selama aku bisa menologmu. Apa yang dapat aku lakukan?”, kata Ki Jalu.
“Sejak pagi hingga sore ini, perutku kosong dan aku kelaparan. Aku ingin makan tetapi tak ada makanan sedikitpun di hutan ini. Oleh karena itu, aku ingin menyantap kau sebagai makananku.”
Ki Jalu merasa terkejut dan heran, padahal baru saja ia menyelamatkan nyawa ular tersebut dari kobaran api, namun tak sedikitpun ucapan terima kasih dari ular tersebut. Bahkan, kali ini Ki Jalu akan menjadi santapan terlezat bagi ular raksasa tersebut. Namun, dengan berat hati Ki Jalu menolaknya.
“Wahai ular, mengapa engkau tega berbicara seperti itu? Padahal aku baru saja menyelamatkan nyawamu dari kobaran api yang menyala-nyala,” ujar Ki Jalu.
“Ya, memang kau telah menolongku. Tapi, kali ini aku meminta tolong lagi kepadamu karena perutku lapar dan aku butuh makanan untuk mendapatkan tenagaku kembali,” kata ular.
“Hai ular, engkau berutang budi kepadaku. Seharusnya utang budi di balas dengan utang budi, utang nyawa  di bayar dengan nyawa, utang nasi di bayar dengan nasi,” ujar Ki Jalu kepada ular.
Lama kelamaan Ki Jalu pun putus asa dan kehilangan akal. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminta tolong kepada pohon, sapi liar, dan kancil yang pada saat itu sedang berada dalam hutan.
“Aku mohon ular kali ini aku tidak bisa menolongmu. Aku ingin sekali bertemu dengan sanak saudaraku sebelum nyawaku diambil sang pencipta,” ujar si Ki Jalu.
“Tidak, aku lapar sekali dan harus menyantap engkau Ki,”ujar si ular.
“Baik, kalau begitu kemauanmu. Tapi, sebaiknya aku bertanya terlebih dahulu kepada pohon, bolehkah?” kata Ki Jalu.
Akhirnya Ki Jalu menceritakan kepada pohon apa yang sedang terjadi antara ular dengan dirinya. Namun, pohon tetap menyuruh ular untuk memangsanya.
“Hi, pohon…Tolonglah aku, aku hendak dijadikan santapan oleh ular padahal aku telah menyelamatkan nyawanya dari kobaran api yang begitu besar,” ucap Ki Jalu kepada pohon.
“Wahai, ular sebaiknya engkau santap saja Ki Jalu karena ia memang pantas untuk disantap,” ucap pohon.
“Mengapa engkau begitu jahat pohon? Aku tidak pernah sedikitpun mengganggu kehidupanmu,” ucap  Ki Jalu.
“Engkau memang tidak pernah menggangguku, namun manusia lain seperti engkau sering menebang aku untuk di jual atau dijadikan kayu bakar. Daun-daunku di petik untuk dijadikan lalapan. Buah yang aku hasilkan mereka petik untuk di jual. Jika aku sudah tua, mereka menebangnya tanpa ada sisa sedikitpun. Mereka begitu kejam. Whai ular sebaiknya engkau santap saja Ki Jalu, usianya pun sudah terlalu tua untuk hidup,” ucap pohon.
Ki Jalu pun tak berputus asa kali ini, ia terus menyebut nama sang Pencipta untuk menolongnya. Ia selalu yakin bahwa apapun yang dilakukan atas dasar kebenaran pasti akan diselamatkan. Kali ini ia mengadu nasib kepada sapi, ia pun menceritakan hal yang sama kepada sapi. Namun, sapi pun tetap menyuruh ular untuk memangsanya.
“Wahai sapi…Tolonglah nyawaku kali ini saja pasti engkau akan mendapatkan balasan dari sang Pencipta,” ucap Ki Jalu kepada sapi.
“Ki…Ki jangan harap aku akan menolong nyawamu. Engkau memang pantas untuk dijadikan mangsa ular. Dagingmu pasti enak dan gurih,” ucap sapi.
“Hai sapi…Begitu kejamnya engkau kepada aku, padahal aku tak bermaksud menyakitimu atau membuatmu sedih, tapi pantaskah aku diperlakukan seperti ini?” kata Ki Jalu kepada sapi.
“Amatlah pantas Ki…Manusia dimataku sangatlah jahat dan kejam. Mereka tak berperasaan. Dua hari yang lalu anak-anakku telah di jual dan suamiku telah dijadikan kurban. Susuku telah diperah habis-habisan. Mungkin jika aku sudah tua, aku pun akan bernasib sama seperti anak dan suamiku,”kata sapi kepada Ki Jalu.
Sudah dua saksi Ki Jalu meminta tolong untuk tidak dimangsa ular, namun kedua saksi tersebut  tetap mengharapkan ular untuk menyantapnya. Kali ini tinggal kancil yang belum didatanginya. Ia terus berdoa kepada sang Pencipta agar diselamatkan nyawanya dari ular raksasa yang jahat dan tak tahu balas budi.
“Ki Jalu, apalagi yang sedang kau tunggu. Kemari dan mendekatlah aku sudah siap untuk menyantapmu,” kata ular.
“Masih ada satu saksi lagi yang harus kudatangi ular. Ia adalah kancil. Aku ingin sekali berbicara kepadanya,” kata Ki Jalu.
Akhirnya, ular pun mengabulkannya dan Ki Jalu pun bergegas mendekati kancil dan menceritakan hal yang sama kepadanya. Dan kali ini ia sangat berharap kepada kancil untuk bisa bebas dari kejaran ular.
“Tolonglah aku kancil, aku hendak dimangsa ular padahal aku telah menyelamatkan nyawanya dari kobaran api yang menyala-nyala di hutan. Ular tetap akan memangsa aku untuk dijadikan santapannya,” ujar Ki Jalu kepada kancil.
Kancil yang cerdik dan baik hati pun akhirnya mau menolong Ki Jalu dari ular raksasa yang jahat itu. Ia mengelabui ular dengan kecerdikannya.
“Ular, apakah engkau akan menjadikan Ki Jalu sebagai santapanmu?”kata kancil kepada ular tersebut.
“Ya, benar. Aku kelaparan dan tak ada sedikitpun makanan di hutan ini kecuali Ki Jalu,” kata ular.
“Kalau begitu sebelum engkau menyantap Ki Jalu, aku dengar engkau bisa mengecilkan tubuhmu melebihi ukuran cacing tanah. Apakah itu benar? Jika benar, tolong engkau buktikan,” kata kancil menantang ular tersebut.
“Baik, kau menanatangku kancil. Lihat dengan baik-baik ya!” kata ular sambil mengecilkan tubuhnya.
Tak lama kemudian, akhirnya kancil telah berhasil mengelabui lawannya. Lalu, dengan cepat ia memerintahkan Ki Jalu untuk memasukan ular tersebut kembali ke dalam karung dan mengikatnya dengan kencang.
“Wah, engkau sangatlah hebat wahai ular, tapi kehebatanmu telah membuat engkau terlihat begitu bodoh dihadapanku. Ayo Ki Jalu, cepat masukkan ular tersebut ke dalam karung dan ikat karung tersebut dengan kencang,” kata kancil.
“Baik, kancil. Aku telah memasukkan ular tersebut ke dalam karung dan telah mengikatnya kencang sekali,” kata Ki Jalu.
“Jika sudah, sebaiknya engkau buang bungkusan karung tersebut ke dalam kobaran api yang menyala-nyala tadi karena ular tersebut tak tahu di untung dan tidak tahu berterimakasih,”ujar kancil sambil tersenyum.
“Terima kasih banyak kancil, semoga kelak ada yang membalas kebaikanmu,” ucap Ki Jalu dengan tersenyum bahagia.
Ki Jalu pun membuang bungkusan karung tersebut ke dalam kobaran api yang menyala-nyala karena ia takut ular tersebut akan memangsanya. Setelah itu Ki Jalu pun melanjutkan perjalananmya kembali menuju Desa Cuangi. Dengan perasaan lega, ia pun mengucapkan syukur karena masih diberikan keselamatan lahir dan bathin oleh sang Pencipta. Keesokan harinya, ia pun sampai di desa Cuangi dan disambut dengan ramah oleh sanak saudaranya. Dengan hati yang riang gembira, ia segera menghampiri sanak saudaranya. Kejadian hari itu tidak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya.




Dendam Nyi Iteung ….



            06:19
            Terngiang jelas obrolan kami semalam. Berat rasanya ketika aku berulang kali membaca perkataannya. “Kok bisa ya? Padahal nggak direspons. Kok masih keukeuh maksa ya? Please deh….” batinku. Bergegas kulirik Si Andro, dan menuliskan pesan singkat yang kutujukan pada salah satu nomor.

            Mau nomornya si X ga? Kasihan banget sih nggak direspons. J

Menunggu dan menunggu kalau-kalau pesanku akan dibalas olehnya. Tak sadar bahwa jarum jam sudah tepat berada di angka 00:00. Sayang, hanya ada miscall sebanyak 21 kali dari sahabat lelakiku. Dan pesan singkat dari teman lamaku yang sekadar menanyakan kabar dan di mana kini aku bekerja. Sepertinya aku belum mau untuk merespons pesan singkat itu.
Aku terpaku lugu di depan mini Toshiba di keheningan malam itu sembari memperhatikan beberapa status yang ditulis oleh para teman di facebook. Kubolak-balik novel “Pride and Prejudice” yang dengan setia terhampar di bed-ku. Tak bosan-bosannya aku membaca buku itu, dan memandangi kavernya dengan setia. Seolah akulah tokoh utama dalam buku itu. J
Jarum jam terus berputar, hingga aku juga belum terlelap. Adzan subuh pun berkumandang, tapi tetap mata ini belum juga menutup. Rasanya tak sabar ingin menjemput matahari pagi di belakang rumah. Namun,  seketika aku teringat akan dirinya. Teringat akan peristiwa yang terjadi beberapa tahun lalu saat ia terlalu baik untukku. Semua ia ajarkan kepadaku. Tapi kini semuanya sirna, ya….seperti lirik sebuah lagu dangdut.
Kau yang mulai, kau yang mengakhiri. Kau yang berjanji, kau yang mengingkari.
Sungguh tak rela melepasnya, tapi apa boleh buat. Selamanya aku tak bisa seperti ini. Usia yang bertambah semakin membuatku berpikir akan kehidupanku sendiri. Aku memang jarang untuk memikirkan tentang diriku sendiri. Ya, aku lebih banyak sibuk mengurusi keluargaku, Ayah, Ibu juga si Bungsu.
Mungkin jika peristiwa seperti sekarang ini tak terjadi pada diriku, aku tak akan pernah tahu siapa dia sesungguhnya. Cerita tentangnya memang baru sebagian ada di buku pertamaku yang diterbitkan oleh sebuah penerbit di Demak. Mungkin itu akan menjadi saksi serta kenangan antara dia denganku tanpa ada yang tahu tentang kami berdua. Mungkin jika kutuangkan ke dalam sebuah novel, pasti akan bestseller. Ya, wanita mana yang ingin selalu terus dibohongi dan dinilai penampilannya setiap kali bertemu. Masya Allah, “Sesungguhnya perbanyaklah bersyukur akan nikmat-Ku.”
Kucoba mengakhiri semuanya. Hingga aku tak mau lagi bersentuhan dengannya. Aku lelah dengan semua permainannya. Aku lelah dengan semua perkataan manisnya. Dan juga aku lelah untuk terus menaruhnya di barisan paling depan dan paling dalam di hatiku.
Namun, tepat pukul 06:19 seketika aku teringat dirinya. Meluncurlah sebuah pesan singkat untuknya.
“Gue udah gk ganggu lo lg, pls jgn ganggu temen fb gw. Liat aja klo sampe tmn lakinya tmn gw sms keg w. Bakal gw ksh no lo biar lo diacak-acak.”
“Lo jealous ya?”
“Ga, Cuma heran aja. Kok bisa ya kirim inbox, padahal nggak direspons?” Temen-temen fb gw gk akan mudah buat diprovokasi apalagi ttg gw.”
“SEMUA TEMEN-TEMEN LO UDAH JADI TEMEN-TEMEN GW, KRN GUE PUNYA AKUN BEDA. Bukan gw nanya kalo kayak gitu aja gak bisa.”
Ya Tuhan, ...
Aku terdiam lemah, tak berdaya seketika. Nafasku seperti diujung tanduk. Rasanya aku ingin melemparnya dengan tumpukan semen yang ada di belakang rumah, hingga ia mati terkapar. Sayang, itu tak mungkin. Aku bukan Tuhan, aku juga tak punya kantong ajaib. Aku hanya wanita biasa. Aku lemah seperti wanita lainnya.

07:48
Nada sms yang dipakai di soundtrack film “3 Idiots” pun berbunyi nyaring. Kubuka dan kubaca.
“Aduh udah deh aku gak mo dipusingin soal bocah ALAY itu. Klopun dia toh ternyata slama ini udh temenan sm aku tnpa aku sadari. Emg apa sih yg kamu takutin?”
“Ya Tuhan, kamu bukan aku dan kamu gak ngalamin apa yg aku alamin,” batinku
Ingin rasanya menjerit, berteriak sekencang-kencangnya. Tapi, semakin aku tak menahan emosi ini, maka setan yang ada dalam diriku akan semakin berpesta ria melihat kekalahanku sebagai seorang wanita. Tak akan kubiarkan setan mengendalikan emosiku.
“Kamu bukan aku sih, jadi kamu gak ngerti apa yang aku rasain. A udah, lupain aja.”
Berakhirlah obrolan singkat via sms dengan salah seorang sahabat. Rasa mual dan mulas mengaduk-aduk perutku yang memang kata dokter aku tak boleh makan pedas, terlalu lelah atau banyak pikiran. Tapi, sikon seperti inilah, sikon antara Dia denganku yang selalu tak berujung membuat berat badanku semakin menyusut saja dari hari ke hari.
“As if someday we meet together at a special place. Preparing myself with gun to shoot him. And the case will close forever.”






Indomie Satu Atap


10:09
Hoammm….
Terbangun aku di pagi itu. Tanpa sadar ada sebuah pesan singkat yang kulihat di layar si Bold. Terkejut bukan main aku kala itu. Bergegas kubaca pesan itu, dan aha… ternyata dari si dia, soulmate-ku. Kami pun ber-sms ria.

0817911****
Di mana ‘beruang madu’?

08131563****
Di hatimu. Hehehe…

Si bold pun berbunyi kembali dengan nada khas yang dipakai di soundtrack film “3 Idiots”. Kubuka dan kubaca.

0817911****
Hmm, today ke mana? Ke rmh nenek gue, mau?

08131563****
Ga kmn2, ya udah. Aq tgg di mana?

0817911****
Gw jmpt di Jelambar ya?

08131563****
Ya udah, smpe situ plg jm 11.00

0817911****
Ya, honey, wait for me.
Now,
gw mo nyuci dlu.
Cu, bye.

08131563****
:D, CUL


4 hours later
Tepat pukul 11.00, aku pun sampai di Jelambar. Sesuai janji kami, dia pun sudah menungguku dengan setia di shelter Jelambar itu. Ya, tangannya bergegas menggandengku dengan mesra. Seolah-olah tak membiarkan kaum Adam yang lain mengizinkan mereka untuk melirikku walau hanya sedetik saja.
            Tepat di hadapan kami muncul metromini berwarna oranye, jurusan Teluk Gong. Kami pun menaiki metromini itu. Kurang lebih 1 jam, kami telah sampai. Cukup berjalan kurang lebih 15 menit, sampailah di rumah neneknya.
            Setibanya aku di sana, hanya sepi yang kurasa. Tempat tinggal yang jauh dari keramaian. Cocok untuk tempat beristirahat. Aku pun tak sungkan-sungkan untuk masuk ke dalam rumah alm. neneknya.
            Kurebahkan diriku di karpet permadani dan memandangi rumah itu. Hanya ada perasaan senang dan bahagia karena bisa berada satu atap di siang itu bersamanya. Lantunan suara adzan yang bergema, membuat lamuanku buyar seketika. Lantas, ia menyuruhku untuk mengambil air wudhu dan shalat berjamaah di rumah itu.
           
12:35
Dia beriqomah seketika, dan aku bersiap-siap untuk shalat berjamaah bersamanya. Tak disangka, begitu banyak keberkahan di hari itu. Membayangkan apabila aku benar-benar tercipta untuknya. Subhanallah. Meskipun aku tak mengenalnya dengan baik, baru hitungan bulan saja. Seolah-olah, aku yakin bahwa ia tercipta untukku.
Kuamati dirinya yang begitu khusyuk beribadah. Membuatku menitikkan air mata. Ya Tuhan, mengapa Engkau pertemukan aku dengannya. Mengapa Engkau tak izinkan aku untuk bisa terus mendampinginya. Sanggupkah aku untuk bisa berpisah dengannya?
Ya, bulir-bulir air mata itu berhenti seketika saat dirinya mengucapkan “Assalamu’alaikum” pertanda bahwa ternyata shalat kami sudah selesai dilaksanakan. Alhamdulillah.
Bergegas kuusap air mataku dan mencium tangannya. Lantas, seusai shalat ia bertanya kepadaku. Pertanyaan yang biasa sebenarnya, tapi buatku itu pertanyaan yang membuatku meleleh seketika.
“Tadi makan jam berapa?”
“Jam 7, pas sarapan.”
“Oh, kita masak Indomie aja ya buat makan siangnya?”
Kuanggukkan kepalaku, pertanda aku menyetujuinya.
“Tapi nggak usah pakai telur ya? Kamu kan nggak makan telur.”
“Iya.”
“Gimana kalau pakai cabe rawit aja, diiris-iris. Terus dimasukkan ke dalam Indomie-nya.”
“Iya.”
“Daritadi ‘iya-iya’ terus.”
Aku hanya melemparkan senyuman kepadanya. Entah apa lagi yang bisa kuucapkan selain kata “Iya”.
“Oia, Indomie rasa ayam bawang aja ya? Cuma itu yang tersisa. Hehe… Terus, berhubung ayamnya nggak ada, kita ganti pakai gorengan aja. Aku tadi beli gorengan tahu sama tempe.”
“He..ehem… Tapi aku boleh ikut masak?”
“Kamu duduk aja, biar aku yang masak.”
Masya Allah, dia menjamu aku dengan begitu istimewanya bak Putri Cinderella. Kuturuti keinginannya. Aku duduk di sofa itu dan sekilas memandang ke arahnya yang sibuk ingin memasakan Indomie untukku.

15 menit kemudian
“Panas banget ya?” kataku.
“Nyalain aja kipas anginnya!” balasnya sambil mengaduk-aduk Indomie-nya.
“Iya.”
“Udah lapar ya? Bentar lagi matang kok Indomie-nya. Tinggal dimasukkin bumbu sama cabe rawitnya, biar HOT. Kan makin enak rasanya.” Dia menengok ke arahku.
“He ehem, awas kompor gasnya meleduk. Jangan besar-besar apinya,” ketusku.
“Nggak akan.”




14:00
Meskipun rasa lapar mendera aku, tak kuhiraukan sama sekali. Cukup kubalas tatapannya dengan senyumanku untuk tidak membuatnya khawatir kalau aku memang kelaparan. Hehehe.
Dan tak lama kemudian, Indomie yang dimasaknya pun siap disajikan ke hadapanku. Lengkap dengan gorengan tahu dan tempenya. Dia juga menyajikan Indomie itu dengan nasi putih yang baru saja dimasaknya di ‘langseng’−semacam tempat untuk memasak nasi di tungku.
Hmmmm, harum sekali wangi aroma Indomie rasa ayam bawangnya. Meskipun ayamnya tidak ada, nikmatnya Indomie tak tergantikan.
“Hmmm, lama ya? Yuk, makan… Ntar kalau dingin nggak enak, mumpung hujan, jadi cepet dihabiskan Indomie-nya,” katanya mengedipkan sebelah matanya.
“Iya. Makasih ya udah masakin buat aku. Makin cinta sama kamu,” ucapku.

24 Mei 2011
Tanggal 28 Mei 2011 terlalu lama untukku. Uang tabunganku sudah habis terkuras karena berbagai keperluan. Sedangkan gajian masih lama. Alhasil, tadi malam aku berinisiatif untuk pergi ke warung Bude. Ya, membeli Indomie rasa ayam bawang lengkap dengan kerupuk kulitnya.
“Bude, beli Indomie. Biasa ya, satu.”
“Masak di sini apa sendiri?”
“Sendiri aja. Sekalian sama kerupuk kulitnya dua.”
“Iya.”

Berhasil kudapatkan Indomie rasa ayam bawangnya serta kerupuk kulitnya. Aku pikir makan Indomie pakai kerupuk kulit akan lebih mantap bila dibandingkan dengan gorengan. Tapi ternyata, bukan kerupuk kulit atau gorengan yang membuat Indomie itu enak dimakan. Tapi, karena Indomie itu yang memasak aku, bukan dia−soulmate-ku yang memasaknya dengan hati, sehingga meskipun terlihat sederhana tapi terasa nikmat dan berkahnya. Itulah ceritaku.