Jumat, 14 Oktober 2011

Ki Jalu



Ki Jalu seorang tua renta yang berhati emas dan mulia. Ia tinggal di sebuah rumah gubuk yang terbuat dari jerami di Desa Pucung. Ia tinggal di gubuk itu sebatang kara tanpa sanak saudara. Sehari-hari Ki Jalu hanya mengandalkan tenaganya untuk menebang kayu-kayu di hutan. Terkadang, ia membantu para petani memetik sayuran di kebun. Dengan hasil jerih payahnya dari hutan dan kebun, ia manfaatkan untuk membeli makanan dan minuman. Sedangkan sisanya ia berikan kepada para tetangganya yang kurang mampu atau sangat membutuhkan. Meskipun Ki Jalu dalam keadaan serba pas-pasan namun rasa untuk menolong terhadap sesama patut diacungkan jempol. Meskipun tidak dengan uang ia menolong orang lain, hanya dengan tenaganya, ia merasa sangat senang apabila dapat menolong orang lain. Apapun akan diusahakannya apabila ada orang yang meminta pertolongan. Dengan senang hati ia akan melakukannya tanpa pamrih sedikitpun.
Sesampainya di gubuk, terlintas dipikirannya untuk mengunjungi sanak saudaranya yang tinggal di Desa Cuangi, karena sudah bertahun-tahun Ki Jalu tidak pernah mengunjungi sanak saudaranya itu. Hingga akhirnya, Ki Jalu memutuskan untuk berkemas-kemas meninggalkan Desa Pucung untuk beberapa hari. Sebelum meninggalkan Desa Pucung, ia sempat berpamitan kepada para tetangganya supaya selamat sampai tujuan. Hampir semua tetangganya merasa kehilangan Ki Jalu, karena budi baiknya yang tidak pernah mereka lupakan. Ki Jalu pun akhirnya meninggalkan Desa Pucung tersebut dengan berjalan kaki. Ia tidak mempunyai uang sepeserpun untuk memesan karcis ataupun tiket bis. Sebelum pergi, ia sudah memasrahkan nasibnya kepada sang Pencipta dengan apa yang akan terjadi. Rasa percaya serta keyakinannya merupakan senjata bagi Ki Jalu.
Saat itu, matahari berada tepat di atas ubun-ubun kepala Ki Jalu. Ia mulai terasa lelah dan tubuhnya penuh dengan cucuran keringat. Tak ada keluhan sedikitpun terucap dari mulutnya. Hanya raut wajah yang penuh dengan senyuman dan kedamaian terpancar saat itu. Unutk menghilangkan rasa lelahnya, sejenak ia berteduh di bawah pohon yang amat besar dan rindang. Dengan satu botol air minum di buntelan tasnya, sedikit demi sedikit ia meneguk air tersebut. Ia membayangkan betapa senangnya dapat bertemu kembali dengan sanak saudara yang telah ditinggalkannya bertahun-tahun. Tak lama kemudian, tergerak hatinya untuk meneruskan perjalanannya. Ia pun akhirnya bangkit dengan membawa buntelan tasnya dan meninggalkan tempat peristirahatan tersebut.  
Hampir tiga jam lebih Ki Jalu menempuh perjalanan dari Desa Pucung ke Desa Cuangi. Ia hanya memerlukan satu jam lagi untuk sampai di Desa Cuangi. Saat itu, Ki Jalu menemui banyak orang yang bekerja sebagai seorang petani sayur-mayur dan buah-buahan. Tepatnya, Desa Cuangi memang sangat terkenal dengan daerah penghasil sayur-mayur dan buah-buahan karena terletak di dataran tinggi dengan udara yang sejuk tanpa polusi sedikitpun. Ki Jalu pun sejenak menghirup udara yang sejuk tersebut dan memandangi dataran tinggi dengan mata terbelalak. Ia seolah-olah sedang menyaksikan takjubnya dunia yang selama ini tak pernah ia rasakan. Tapak demi tapak selalu membekas di hatinya, seakan tak ingin meninggalkan dunia yang begitu indah secepatnya.
Tanpa terasa, sampailah ia di sebuah hutan yang penuh dengan semak belukar dan suara-suara yang aneh. Pada saat itu sang Pencipta sedang menguji kebaikan hatinya karena selama Ki Jalu hidup rasa menolong sesama selalu melekat di hatinya. Tiba-tiba saja Ki Jalu merasa ketakutan dan hilang akal. Ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Meskipun dalam keadaan takut ia tetap tenang dan terus mengingat sang Pencipta untuk melindunginya dari bahaya apapun. Kemudian, ia dikejutkan dengan seekor ular raksasa yang meminta tolong kepadanya. Matanya terbelalak dan mulutnya memuji kebesaran sang Pencipta. Tak dapat dihindari bahwa ia amat ketakutan, namun sikap tenang dan rasa yakin bahwa ada yang selalu melindunginya menjadi senjata ampuh baginya. Saat itu, ular tersebut berada dalam keadaan bahaya. Rasa takut akan api yang menyala-nyala membuat ular tersebut meminta tolong kepada Ki Jalu untuk membebaskannya dari nyala api di hutan tersebut. Namun, Ki Jalu merasa bingung dengan cara apa ia menyelamatkan ular raksasa tersebut. Ular itu akhirnya berbicara kepada Ki Jalu.
“Wahai Tua Renta, maukah kau menyelamatkan nyawaku dari api yang berkobar-kobar itu?”ujar ular raksasa tersebut.
Karena sehari-hari Ki Jalu selalu berbuat baik terhadap sesama dan senang untuk menolong seseorang dari kesusahan. Ia pun menolong ular raksasa tersebut tanpa memandang siapakah ular raksasa itu.
“Wahai ular raksasa, aku akan menolongmu dari kobaran api tersebut. Namun, bagaimana caranya? Engkau bertubuh raksasa dan aku pun sulit untuk mengangkat tubuhmu,” kata Ki Jalu.
“Tenang saja Ki, aku bisa mengecilkan tubuhku melebihi ukuran cacing tanah,” ujar si ular.
“Oh, kalau begitu cepat sekarang engkau kecilkan tubuhmu, sebelum api tersebut merambat ke daerah ini,” ujar si Ki Jalu.
“Baik Ki,” kata ular.
Ki Jalu pun sesaat tak percaya bahwa ular raksasa tersebut telah mengecilkan tubuhnya. Apa yang dilihatnya saat itu seolah-olah adalah mimpi yang tak pernah dialami dalam hidupnya. Setelah melihat ular raksasa tersebut berubah melebihi ukuran cacing tanah, ia bergegas mendekati ular tersebut untuk mengikuti perintah selanjutnya.
“Ki, aku sudah merubah ukuranku menjadi lebih kecil. Nah, sekarang Ki ambil sebuah karung di dekat pohon besar itu, lalu masukkan aku ke dalam karung tersebut dan ikat dengan kencang menggunakan akar pohon itu. Apakah kau mengerti Ki?” kata ular.
“Ya, baiklah. Aku akan memasukanmu ke dalam karung itu sekarang dan mengikatnya.”
Ki Jalu pun akhirnya berhasil menyelamatkan ular raksasa tersebut dan membawa jauh bungkusan karung itu dari kobaran api yang menyala-nyala. Kemudian, Ki Jalu pun melepaskan ular raksasa tersebut dari dalam karung. Ular raksasa itu pun kembali ke wujud asalnya. Namun, untuk kedua kalinya ia meminta Ki Jalu menolongnya lagi. Kali ini, ular tersebut merasa lapar dan meminta Ki Jalu sebagai korbannya.
“Wahai, Ki…bolehkah aku minta tolong lagi?”, ujar ular.
“Ya, selama aku bisa menologmu. Apa yang dapat aku lakukan?”, kata Ki Jalu.
“Sejak pagi hingga sore ini, perutku kosong dan aku kelaparan. Aku ingin makan tetapi tak ada makanan sedikitpun di hutan ini. Oleh karena itu, aku ingin menyantap kau sebagai makananku.”
Ki Jalu merasa terkejut dan heran, padahal baru saja ia menyelamatkan nyawa ular tersebut dari kobaran api, namun tak sedikitpun ucapan terima kasih dari ular tersebut. Bahkan, kali ini Ki Jalu akan menjadi santapan terlezat bagi ular raksasa tersebut. Namun, dengan berat hati Ki Jalu menolaknya.
“Wahai ular, mengapa engkau tega berbicara seperti itu? Padahal aku baru saja menyelamatkan nyawamu dari kobaran api yang menyala-nyala,” ujar Ki Jalu.
“Ya, memang kau telah menolongku. Tapi, kali ini aku meminta tolong lagi kepadamu karena perutku lapar dan aku butuh makanan untuk mendapatkan tenagaku kembali,” kata ular.
“Hai ular, engkau berutang budi kepadaku. Seharusnya utang budi di balas dengan utang budi, utang nyawa  di bayar dengan nyawa, utang nasi di bayar dengan nasi,” ujar Ki Jalu kepada ular.
Lama kelamaan Ki Jalu pun putus asa dan kehilangan akal. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminta tolong kepada pohon, sapi liar, dan kancil yang pada saat itu sedang berada dalam hutan.
“Aku mohon ular kali ini aku tidak bisa menolongmu. Aku ingin sekali bertemu dengan sanak saudaraku sebelum nyawaku diambil sang pencipta,” ujar si Ki Jalu.
“Tidak, aku lapar sekali dan harus menyantap engkau Ki,”ujar si ular.
“Baik, kalau begitu kemauanmu. Tapi, sebaiknya aku bertanya terlebih dahulu kepada pohon, bolehkah?” kata Ki Jalu.
Akhirnya Ki Jalu menceritakan kepada pohon apa yang sedang terjadi antara ular dengan dirinya. Namun, pohon tetap menyuruh ular untuk memangsanya.
“Hi, pohon…Tolonglah aku, aku hendak dijadikan santapan oleh ular padahal aku telah menyelamatkan nyawanya dari kobaran api yang begitu besar,” ucap Ki Jalu kepada pohon.
“Wahai, ular sebaiknya engkau santap saja Ki Jalu karena ia memang pantas untuk disantap,” ucap pohon.
“Mengapa engkau begitu jahat pohon? Aku tidak pernah sedikitpun mengganggu kehidupanmu,” ucap  Ki Jalu.
“Engkau memang tidak pernah menggangguku, namun manusia lain seperti engkau sering menebang aku untuk di jual atau dijadikan kayu bakar. Daun-daunku di petik untuk dijadikan lalapan. Buah yang aku hasilkan mereka petik untuk di jual. Jika aku sudah tua, mereka menebangnya tanpa ada sisa sedikitpun. Mereka begitu kejam. Whai ular sebaiknya engkau santap saja Ki Jalu, usianya pun sudah terlalu tua untuk hidup,” ucap pohon.
Ki Jalu pun tak berputus asa kali ini, ia terus menyebut nama sang Pencipta untuk menolongnya. Ia selalu yakin bahwa apapun yang dilakukan atas dasar kebenaran pasti akan diselamatkan. Kali ini ia mengadu nasib kepada sapi, ia pun menceritakan hal yang sama kepada sapi. Namun, sapi pun tetap menyuruh ular untuk memangsanya.
“Wahai sapi…Tolonglah nyawaku kali ini saja pasti engkau akan mendapatkan balasan dari sang Pencipta,” ucap Ki Jalu kepada sapi.
“Ki…Ki jangan harap aku akan menolong nyawamu. Engkau memang pantas untuk dijadikan mangsa ular. Dagingmu pasti enak dan gurih,” ucap sapi.
“Hai sapi…Begitu kejamnya engkau kepada aku, padahal aku tak bermaksud menyakitimu atau membuatmu sedih, tapi pantaskah aku diperlakukan seperti ini?” kata Ki Jalu kepada sapi.
“Amatlah pantas Ki…Manusia dimataku sangatlah jahat dan kejam. Mereka tak berperasaan. Dua hari yang lalu anak-anakku telah di jual dan suamiku telah dijadikan kurban. Susuku telah diperah habis-habisan. Mungkin jika aku sudah tua, aku pun akan bernasib sama seperti anak dan suamiku,”kata sapi kepada Ki Jalu.
Sudah dua saksi Ki Jalu meminta tolong untuk tidak dimangsa ular, namun kedua saksi tersebut  tetap mengharapkan ular untuk menyantapnya. Kali ini tinggal kancil yang belum didatanginya. Ia terus berdoa kepada sang Pencipta agar diselamatkan nyawanya dari ular raksasa yang jahat dan tak tahu balas budi.
“Ki Jalu, apalagi yang sedang kau tunggu. Kemari dan mendekatlah aku sudah siap untuk menyantapmu,” kata ular.
“Masih ada satu saksi lagi yang harus kudatangi ular. Ia adalah kancil. Aku ingin sekali berbicara kepadanya,” kata Ki Jalu.
Akhirnya, ular pun mengabulkannya dan Ki Jalu pun bergegas mendekati kancil dan menceritakan hal yang sama kepadanya. Dan kali ini ia sangat berharap kepada kancil untuk bisa bebas dari kejaran ular.
“Tolonglah aku kancil, aku hendak dimangsa ular padahal aku telah menyelamatkan nyawanya dari kobaran api yang menyala-nyala di hutan. Ular tetap akan memangsa aku untuk dijadikan santapannya,” ujar Ki Jalu kepada kancil.
Kancil yang cerdik dan baik hati pun akhirnya mau menolong Ki Jalu dari ular raksasa yang jahat itu. Ia mengelabui ular dengan kecerdikannya.
“Ular, apakah engkau akan menjadikan Ki Jalu sebagai santapanmu?”kata kancil kepada ular tersebut.
“Ya, benar. Aku kelaparan dan tak ada sedikitpun makanan di hutan ini kecuali Ki Jalu,” kata ular.
“Kalau begitu sebelum engkau menyantap Ki Jalu, aku dengar engkau bisa mengecilkan tubuhmu melebihi ukuran cacing tanah. Apakah itu benar? Jika benar, tolong engkau buktikan,” kata kancil menantang ular tersebut.
“Baik, kau menanatangku kancil. Lihat dengan baik-baik ya!” kata ular sambil mengecilkan tubuhnya.
Tak lama kemudian, akhirnya kancil telah berhasil mengelabui lawannya. Lalu, dengan cepat ia memerintahkan Ki Jalu untuk memasukan ular tersebut kembali ke dalam karung dan mengikatnya dengan kencang.
“Wah, engkau sangatlah hebat wahai ular, tapi kehebatanmu telah membuat engkau terlihat begitu bodoh dihadapanku. Ayo Ki Jalu, cepat masukkan ular tersebut ke dalam karung dan ikat karung tersebut dengan kencang,” kata kancil.
“Baik, kancil. Aku telah memasukkan ular tersebut ke dalam karung dan telah mengikatnya kencang sekali,” kata Ki Jalu.
“Jika sudah, sebaiknya engkau buang bungkusan karung tersebut ke dalam kobaran api yang menyala-nyala tadi karena ular tersebut tak tahu di untung dan tidak tahu berterimakasih,”ujar kancil sambil tersenyum.
“Terima kasih banyak kancil, semoga kelak ada yang membalas kebaikanmu,” ucap Ki Jalu dengan tersenyum bahagia.
Ki Jalu pun membuang bungkusan karung tersebut ke dalam kobaran api yang menyala-nyala karena ia takut ular tersebut akan memangsanya. Setelah itu Ki Jalu pun melanjutkan perjalananmya kembali menuju Desa Cuangi. Dengan perasaan lega, ia pun mengucapkan syukur karena masih diberikan keselamatan lahir dan bathin oleh sang Pencipta. Keesokan harinya, ia pun sampai di desa Cuangi dan disambut dengan ramah oleh sanak saudaranya. Dengan hati yang riang gembira, ia segera menghampiri sanak saudaranya. Kejadian hari itu tidak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar