Jumat, 14 Oktober 2011

OTAK-OTAK JELAMBAR


Jelambar
Aku bertanya kepada angin
Apa yang ia rasakan
Saat merasakan rindu
Dan hati mulai sedikit pilu
Lalu angin menjawab:
Rinduku seluas buih di lautan
Buih-buih itu tak akan kubiarkan terhempas
Akan kuberi ia napas kehidupan
            Balutan sweater ungu telah menyelamatkannya dari terik matahari yang menyengat siang itu. Banyak orang yang datang dan pergi di hadapannya. Tak hanya itu, bus patas ac dan ekonomi pun mulai memadati area terminal Kalideres. Dilihatnya pula, segerombolan pengamen dengan baju lusuhnya memasuki bus patas ac jurusan Kalideres-Pulogadung. Sesekali diliriknya jam tangan yang melekat di tangan kirinya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 14.00. Pertanda, kalau dia harus segera meninggalkan terminal menuju Ciputra Mall.
            Wanita dewasa yang berperawakan tinggi besar berbalut sweater ungu serta syal kuningnya, melangkahkan kaki perlahan sambil mengamati nomor jurusan bus yang hendak ditujunya. Matanya tertuju pada salah satu bus patas ac 81, jurusan Kalideres-Depok. Dia menghampiri bus itu dan mulai mencari tempat duduk yang nyaman. Kursi urutan kedua pun menjadi sasarannya. Sesekali diliriknya tukang jualan minuman dingin dan tukang tahu Sumedang. Kasihan panas-panas, dagangan belum laku juga, pikirnya.
            Pandangannya tertuju pada sudut pojok terminal Kalideres. Dilihatnya sepasang adam dan hawa yang saling berpegangan tangan. Jauh di lubuk hatinya, dia membayangkan kalau hari ini bisa merasakan apa yang dirasakan oleh sepasang adam dan hawa itu. Klakson bus pun nyaring terdengar.
            TIN… TIN… TIN…
            Alunan merdu suara pengamen yang baru saja masuk membuat dia hanyut dengan masa lalunya, saat sosok laki-laki yang hari ini akan ditemuinya pernah membuat luka dalam hidupnya berkali-kali. Lagu “Rapuh” dinyanyikan oleh mereka dengan suara khas dan gaya mereka sendiri, meskipun suara mereka tidak seperti suara penyanyi aslinya.
Kau tak tahu betapa rapuhnya aku
Bagai lapisan tipis air yang beku
Sentuhan lembut kan hancurkan aku
Walaupun cinta tak sempurna
Menghampiri ku seketika
Ku ingin kau tahu betapa rapuhnya aku
Kau tak tahu betapa rapuhnya aku
Masih merasa luka di masa lalu
Ku pernah mencintai sepenuh hati
Dan ku terluka, luka membekas
Bekas membuat, buat selamanya
Selamanya ku, ku kan selalu
Ku kan selalu rapuh
Kau ingin tunjukkan kepada dunia
Tak hanya ada karena masa lalu
Tapi masih ada harapan bagi yang baru
            Air matanya meluncur seketika dari balik kerudung ungunya. Dia pun segera mengelapnya pelan. Tapi, air mata itu terus mengalir mengingatkan peristiwa tragis yang pernah menimpanya bertubi-tubi. Kini, dia akan kembali menemui laki-laki di masa lalunya itu. Entah kenapa bisa terjadi. Dia pun tak sanggup mengungkapkannya.
            Bus yang sedang dinaikinya melaju kencang saat sudah berada di flyover Pesing. Dan alunan merdu sang pengamen pun berakhir. Dia merogoh saku tasnya dan mengambil uang koin lalu diberikannya kepada si pengamen. Tak lupa diambilnya kaca kecil dari balik dompetnya. Matanya terlihat sembap, seperti habis disengat oleh lebah. Ya tuhan, apa yang akan dikata Madhav, sebutan laki-laki yang telah menyakitinya, rutuknya dalam hati. Apa aku masih mengharapkannya? Ya Tuhan, beri petunjukmu, jika memang hari ini dialah yang terbaik, tunjukkan aku sisi baiknya, lanjutnya sembari merapikan kerudungnya.
***
15.30 WIB….
            Dia memberhentikan bus saat akan mencapai lampu merah, yang terletak di perempatan Grogol.
Kiri… kiri… Pak!
            Bus yang sedikit bergoyang pun akhirnya perlahan berhenti, dan kakinya yang mungil serta lincah itu mulai menyalib penumpang lain untuk bisa memberikannya jalan keluar. Dan, keluarlah dia dari balik bus patas ac 81 itu. Dia mulai ke tepi jalan, dan sedikit menghela napas. Masih terasa penat setelah kurang lebih satu jam setengah dia berada dalam bus yang padat sesak itu.
            Dia kemudian melihat jam tangannya, sudah menunjukkan waktu ashar ternyata. Bergegas, dia menaiki tangga penyebrangan. Dia pun mempercepat langkahnya. Napasnya yang terengah-engah tak dihiraukannya. Syal kuning yang melekat di lehernya pun ikut tersibak angin. Dia terlihat feminine dengan pakaiannya yang berwarna cerah itu. Apalagi, kakinya yang terbalut dengan sepatu wedges peach-nya. Memang terkesan kontras dengan warna pakaiannya, tapi masih saja tetap terlihat cantik.
            Tak butuh waktu lama untuk sampai di dalam Ciputra Mall. Dia segera menuju Hypermart, dan mencari sosok Madhav dari kejauhan. Tapi, belum juga dilihatnya. Hingga satu langkah… dua langkah… tiga langkah… dia sampai, tapi dia tak melihat sosok Madhav. Kemudian, dia membalikkan badan dan dilihatnya laki-laki mengenakan T-Shirt hijau nge-jreng sedang berdiri dekat pintu lift. Senyum merekah di wajahnya pun merekah saat Madhav menatapnya lekat. Mereka berdua pun duduk di depan Hypermart. Dan Mazra, wanita bersyal kuning itu membelakanginya. Dia tertunduk malu. Dia tak ingin Madhav memperhatikannya detail.
            Perasaan Mazra saat itu bergejolak. Dia ingin sekali jatuh ke dalam pelukannya dan menyampaikan isi hatinya yang sudah lama terpendam bertahun-tahun, tapi itu mustahil baginya. Madhav mungkin sudah tak berperasaan lagi kepadanya. Dia kini lebih memilih untuk mundur perlahan. Dia tak ingin tersakiti lagi.
            “Nunggunya udah lama ya?” ujarnya sambil memilin-milin ujung syalnya. “Nggak, baru kok.” Dia tersenyum dan terus menatap mata Mazra tanpa berkedip sedikitpun. “Tadinya kalau lewat dari pukul 4.00, lu mau gue tinggal.”
“Oh, untungnya belum ditinggal ya!” Diliriknya Madhav malu-malu. “Tadi kessar, malah ke lantai dua, eh taunya di lantai dasar.”
“Oh.” Diayunkannya kedua kaki dan tangannya diletakkan di samping badannya. “ Cantik lu sekarang!”
“Biasa aja ah… lu juga tambah cool,” sembari membuka tas dan kemudian melanjutkan ucapannya, “ kulkas tapinya… hehehe.”
Sudah lama mereka duduk saling membelakangi dan Madhav pun mengajaknya pergi dari Hypermart menuju 21 (Baca: Twenty One)
“Mau makan apa mau nonton dulu?”
“Hmmm, terserah, kan lu yang punya duitnya.” Dia tersenyum.
“Hehehe, lu nya udah laper pa belum?”
“Belum!” balasnya singkat.
“Ya udah, beli tiket nonton dulu, kalau nanti keburu makan, ya kita makan.”
Mazra menganggukan kepalanya. “Iya… iya.”
            Sekitar tiga lantai dilewati mereka dengan escalator. Mereka saling bertatapan satu sama lain. Keduanya saling memperhatikan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dan sesekali mereka tertawa tanpa arah, alias nggak jelas.
Sesampainya di 21, dia meninggalkan Madhav ke toilet. Membiarkannya bebas memilih tempat duduk yang diinginkannya. Kini, sudah ada dua tiket nonton di tangannya. Dan, dia menatap ke segala penjuru 21 mencari di mana Mazra berada. Tak lama, sosok Mazra muncul di belakangnya tak terduga. Lalu, Madhav segera menggenggam jari jemari Mazra yang menurutnya lembut sekali. Mengingat kalau film yang dipilihnya sudah akan dimulai.
            Keduanya menuju studio 1, studio di mana film mereka akan dimainkan. Merasa gerah dengan genggaman Madhav, dia pun segera melepaskannya. Kakinya yang lincah menuju tempat duduk nomor 7 dan 8 H. Lalu, keduanya pun duduk dan terdiam satu sama lain.
“Hmmm, adem ya! Kagak kayak di luar, panas banget…. Berasa di gurun sahara.” Kedua tangannya dilipatkan ke atas kepala. “Yakin lu belum laper?”
“Hihihi, iya adem… kalau laper nanti bilang, kan Kokoh baru dapet angpao banyak.” Kembali dia tersenyum.
            Madhav cekikikan sembari menatapnya lagi, “Hehehe, iya… gimana kalau…, ucapannya terputus saat keduanya dihampiri oleh penjual snack 21.
“Mas, minumnya? Sekalian popcorn-nya buat temen nonton.”
Madhav pun dengan spontan langsung memesan segelas softdrink dan sebungkus popcorn.
“Boleh deh, Mbak. Pesen softdrink sama popcorn cokelatnya satu ya!”
Pelayan 21 itu pun segera menyodorkan pesanan keduanya. “Ini, Mas… Rp 18. 000,-.”
            Dia mengeluarkan uang yang diminta pelayan dan menyuruh Mazra untuk minum dan memakan popcornnya. Sayang, itu tak dilakukannya. Sampai film diputar pun, Mazra tetap tak mempedulikan Madhav. Dia berpura-pura untuk focus menonton film itu, meskipun dia rindu akan kehangatan Madhav.
***
Dua jam berlalu sudah…
“Filmnya keren ya?”
“Hmmm, biasa aja. Cuma suka aja kalimat terakhir dari film itu. Ketika mencintai seseorang, kesalahan tak akan mampu mengubah perasaan, karena meskipun benci, hati akan selalu tetap peduli.”
Sesekali dirapikannya rambut-rambut halus yang tersembul dari balik kerudungnya. “Dalem banget ya.”
“Sedalam perasaan gue sama lo hingga hari ini.”
Mata Mazra terbelalak. Seolah dia tak percaya kalau Madhav kali ini benar-benar menantang keseriusannya untuk merajut kasih kembali. Saat itulah, Madhav berusaha untuk meyakinkannya, kalau dia selama ini memang tak tergantikan.
Mazra yang diam-diam ternyata tersipu malu, saat Madhav menatapnya lekat. Kini, mereka hanya berjarak lima sentimeter saja. Dan saat itu, tepat di depan mereka ada seorang penjual otak-otak ikan tenggiri. Madhav pun memesan otak-otak tersebut. Tak kurang dari lima belas menit, otak-otak sudah ada digenggaman Madhav.
            Kini, di pertengahan jembatan Jelambar, dengan desiran angin yang berembus. Madhav menusuk otak-otak itu dan menyuapinya perlahan. Mulutnya terbuka perlahan sembari menatap Madhav penuh harapan, kalau apa yang dilakukannya hari itu bukti keseriusannya untuk merajut kembali kasih dengannya.
***





           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar