Neng Bila
Place for Sharing, Caring, and Writing
Rabu, 30 Oktober 2013
Neng Bila: Where Is My Shoes?
Neng Bila: Where Is My Shoes?: Where is My Shoes? “Coba, miss mau tes satu satu ya tentang pelajaran kemarin! Ok, are you ready?” “Yes, Miss....” Senang rasanya men...
Minggu, 16 Juni 2013
Where Is My Shoes?
Where
is My Shoes?
“Coba,
miss mau tes satu satu ya tentang pelajaran kemarin! Ok, are you ready?”
“Yes,
Miss....”
Senang rasanya
mendengar dan melihat ekspresi anak didikku dari hari ke hari semakin membaik
dan meningkat kemampuan dalam berbahasa Inggris. Rabu, tepat pukul 7.00 saatnya
pelajaranku dimulai. Tidak ada persiapan apapun, hanya terbesit beberapa ide
bermunculan di pikiran ini. Ya, folding paper kupilih sebagai teknik mengajar
Rabu itu. “Well, I’d like to ask Zaki,” mendekati Zaki sembari tersenyum.
“Zaki, are you ready answering my questions?”
“Yes, Miss.” Zaki menganggukan
kepalanya dan terlihat gigi mungilnya itu.
“Zaki, what did you eat last
night?” Oh ya, hari itu aku mereview kembali pelajaran tentang Past Tense.
“I ate a piece of Pizza.”
“Excellent,” kuacungkan jempol ini
ke arah Zaki.
Aku berjalan ke arah anak didikku
yang terlihat gelisah dengan pertanyaan yang akan kuberikan. “Jasmine, do you
want to answer my question?” Kembali kuarahkan senyumanku untuknya.
“Yes,” kepalanya mengangguk ke
arahku.
“Did you sleep late last night?”
Aku berjalan menuju meja belajarnya, dan kembali bertanya, “Is it easy, right?
You can answer now.”
“No, I didn’t.”
Lalu, kuacungkan kembali jempolku,
“Very good.”
Baru dua anak
didikku yang berhasil menjawab pertanyaanku. Rasanya masih perlu aku bertanya
kembali untuk tahu apa mereka sudah mengerti dengan pelajaran tentang Past
Tense. Kali ini, aku dekati anak didikku yang sedikit lambat menerima
pelajaran. Terkadang, anak ini butuh bimbingan saat akan mengerjakan latihan
soal.
“Devon, are you ready to answer my
questions?”
“Pertanyaannya apa Miss?” Devon
akan selalu bertanya saat dia merasa belum jelas.
“What did you watch two hours ago?”
Nah, kali ini Devon menjawab cepat
sekali. “I watched Cartoon film two haours ago.”
Tak canggung-canggung aku pun
mengusap kepalanya, dan berkata “Excellent.”
Saat aku akan berjalan menuju meja
anak didikku yang terletak dua baris dari belakang, terdengar suara ketukan dan
mengucap salam, “Assalamuallaikum,” suara mungil anak didikku yang datang
terlambat ke kelas.
Kujawab salam itu,
“Waallaikumsalam, Abile.” Ya, anak didikku yang satu ini terkadang membuat aku
gemas, terkadang membuat aku ingin berhenti saja menjelaskan pelajaran di depan
kelas.
“Miss, sepatuku tertinggal,”
katanya sambil menunjukkan kakinya yang terbalut kaus kaki.
Sementara itu,
anak didikku yang lain menertawakannya. Padahal, suasana kelas saat itu sedang
kondusif sekali untuk belajar. Saat Abile masuk dan mengatakan kalau sepatunya
tertinggal, hilang sudah konsentrasi anak didikku untuk belajar.
“Masya Allah, Abile... Kenapa bisa
tertinggal?” Aku bertanya sembari kutahan rasa tawa ini.
“Itu Miss, aku buru-buru terus aku
lupa kalau aku belum pakai sepatuku. Tapi tenang Miss, sebentar lagi pasti
diantarkan sepatuku oleh Ayah atau mungkin Bunda,” balasnya polos sekali.
“Kalau belum diantarkan juga, sorry
Miss hari ini aku nggak akan pakai sepatu,” lanjutnya dengan penuh senyuman
lega karena tidak memakai sepatu.
“Ok, you may sit down now. And
prepare your English book,” kataku sembari mengantar ke meja belajarnya agar
dia cepat duduk dan semua anak kembali fokus belajar.
Sambil menunggunya ‘ready’ untuk
belajar, aku pun mendekati meja belajarnya. Dan bersiap-siap melontarkan
sedikit pertanyaan. Sebenarnya tanpa diberi pertanyaan pun, Abile pasti sudah
sangat mengerti tentang pelajaran yang sudah aku berikan.
“Coba, miss mau tes satu satu ya
tentang pelajaran kemarin! Ok, are you ready?”
“Yes, Miss....”
Kulontarkan sebuah pertanyaan
kepadanya, “What did you eat an hour ago?”
“I ate porridge with my mom,”
dengan lancar dan tanpa pikir panjang dia pun menjawabnya.
“Then, was it expensive?” lanjutku
cepat-cepat. “Hmm, it was cheaper. Did you like porridge, Miss?” tanyanya
sambil memainkan pensil mekaniknya.
“Aha, it was delicious, wasn’t it?
So, I liked it.” Aku berjalan mendekati meja anak didikku lainnya perlahan usai
menjawab pertanyaan dari Abile.
Sosok
mungil Abile memang selalu menjadi sorotan di kelas 3D. Rasanya dunia hampa
saat dia tidak masuk ke sekolah. Padahal, tingkah laku Abile super banget, lho
saat di kelas. Semua guru yang masuk ke kelas 3D, pasti akan dibuat acak-acakan
saat sedang mengajar. Ada-ada saja ulah yang dibuatnya. Terkadang, sang Bapak
atau Ibu guru yang sedang mengajar akan merasa kesal. Ya, rasa penasaran Abile
terhadap suatu hal terkait dengan pelajaran memang sangat besar, berbeda dengan
anak didikku yang lainnya. Abile selalu mengajukan beberapa pertanyaa diluar
dugaan orang-orang dewasa. Tapi, karena rasa penasaran itulah, perbendaharaan
kata Abile boleh dibilang sangat bagus dibandingkan dengan anak seusianya.
Tak
hanya itu, Abile juga sering membuat saya merasa terlihat tak berdaya sebagai
seorang dewasa. Abile sering sekali bertanya ini dan itu kepada saya. Memang
pertanyaan yang dia tanyakan pasti terkait dengan pelajaran. Hanya saja, baru
satu pertanyaan berhasil saya jawab dan sukses mematahkan semangatnya untuk
tidak bertanya lagi, pasti pertanyaan lainnya akan menyusul. Abile akan mulai
berhenti bertanya saat saya sudah memberikan latihan soal kepadanya. Hufft,
memang melelahkan pekerjaan seorang guru. Semakin guru itu pandai berkata, maka
anak didiknya pun akan dua kali lipat kepandaian berkatanya. Hanya bisa
mengelus dada dan mengangkat kedua telapak tangan saya ini, sambil mengucap
“Alhamdulillah, masih banyak anak didik yang bertanya dan memperhatikan
pelajaran saya. Semoga kelak mereka jadi anak generasi penerus bangsa yang
jujur dan bisa memperbaiki kehidupan Rakyat Indonesia nantinya.”
***
Rabu, 23 November 2011
Twitter... Don't Touch Me
Jumat pagi yang berawan, sudah terpampang dengan jelas sebuah NOTE
Friday: Sabila (TWITTER ORANGE & LINGKAR PENA)
Oh My God, diam menatapi catatan kecil itu sambil menyesap cokelat panas. Sesekali aku bertanya dalam hati, “CAN I DO THAT?” Jujur saja, minggu lalu aku memang sudah membuka akun twitter perusahaanku. Tapi, aku masih kaku dan hanya mengamati saja. Tanpa aku memainkan ikon yang ada pada twitter itu. Aku tak biasa (seperti lagunya almarhumah Alda). J
Lagi… lagi… dan lagi…. Hari ini, Jumat, October 21st, 2011, I MUST DO THAT! Aduhhhh, gimana ya? Masih menyesap cokelat panasku, dan menulis apa yang kualami ini (tulisan yang sedang kalian baca), aku masih tetap sibuk membuka semua ikon pada twitter itu. Yah, lagi-lagi kebuntuan yang kuhadapi, “WHAT I HAVE TO DO WITH THIS?”
Kepalaku mulai berat. Tumpukan buku dan naskah yang belum terbaca pun sempat aku sentuh dan lembar perlembar tentunya kubuka. Mencari sesuatu, ya… IDE. Dan akhirnya, setelah berperang urat syaraf di kepalaku ini, aku pun berhasil menuliskan status sederhana, “Pagi Twittie, kasih tahu dung bacaan seru kamu buat weekend besok?”And, all is well, hehehe… My job is done.
Seharusnya dia tak menyentuhku, tapi aku terpaksa menyentuhnya, dan semoga ini awal pembelajaran bagiku untuk memainkan twitter ke depannya!
Owh... No...
Stasiun Lenteng Agung, 17.30 WIB
Langit sore itu terlihat sangat gelap. Hilir mudik kendaraan beroda dua dan empat meluncur dengan sangat kencangnya. Di sepanjang jalan, banyak orang berjejer dengan beragam warna-warni pakaian. :) Salah satu di antara mereka adalah aku. Wanita dewasa berbalut gamis hijau tosca berkerudung pink salem dan bersepatu crocs siap menyeberang jalan.
Aku harus ekstra berhati-hati sewaktu menyeberang jalan karena tak ada jembatan penyeberangan di depan stasiun Lenteng Agung. Lagi pula, nyawaku kan cuma satu, bukan dua atau seribu, bahkan sejuta. Dengan lincahnya seorang aku pun melambaikan tangan berusaha untuk memberhentikan setiap kendaraan beroda dua dan empat untuk memberiku jalan. Ya, di belakang, di sebelahku ada banyak orang yang juga ingin menyeberang. Saat itu, akulah sang hero. (ceileee). Teringat lagunya Mariah Carey, “Hero”. Hehehe….
Kuucap “Alhamdulillah” dalam hati karena sudah terbebas dari kendaraan itu. Sekarang, tinggal mempercepat langkahku, untuk membeli tiket Ekonomi. Tiket yang terbilang sangat murah bagiku. Entahlah bagi orang lainnya. :) Terpenting bagiku adalah, bisa cepat sampai di rumah, memeluk erat ibuku. Tak peduli kendaraan seperti apa yang akan mengantarkanku. :)
Tak kurang dari 10 menit, aku pun sudah tiba di depan loket. Hmmm, lirik kanan lirik kiri itulah yang kulakukan pada awalnya. Bingung sebenarnya, ingin membeli tiket Commuter Line atau Ekonomi saja. Dan, setelah menimang-nimang, kuputuskan untuk membeli tiket Ekonomi saja.
Gue: Pa,k Commuter Line udah lewat ya?
Penjual Tiket: Barusan! (tersenyum ramah)
Gue: Owh…. Ada lagi pukul berapa ya, Pak?
Penjual Tiket: Pukul 6
Gue: Ekonomi, Juanda, Pak! (sembari memberikan uang sebesar Rp 1.500,-)
Penjual Tiket pun menyodorkan tiket Ekonominya padaku.
Nggak lama pun kereta Ekonominya datang dan aku bergegas menyeberang rel dan langsung berlari meraih dan masuk ke dalam kerumunan orang-orang di dalam kereta itu. Hufffttt, butuh perjuangan memang untuk masuk dan mencari tempat yang nyaman di dalam desakan kereta Ekonomi.
Aku pun berhasil meraih gerbong 5. Kurasakan embusan angin yang bisa menghilangkan rasa gerahku. Meskipun mendung dan terlihat akan hujan, tapi suhu tubuhku panas bukan main. Mungkin, karena aku terlalu banyak bergerak. :) Kuperhatikan sekelilingku. Ternyata gerbong 5 itu sebagian besar penumpangnya adalah laki-laki. Kaum hawa bisa dihitung jumlahnya.
Kuambil posisi yang bagiku nyaman, Pojok kereta dekat gerbong pintu sebelah kiri. Surga dunia karena pusara angina ada di situ. Di sebelahku ada sosok laki-laki cool. Di depanku ada sosok anak kecil serta orang dewasa laki-laki yang duduk. Di belakangku ada sosok mas-mas dengan pakaian yang acak-acakan tapi terlihat stylish.
Puas memperhatikan, aku pun mulai memainkan hape, karena memang ada pesan masuk. Kubaca dengan memegang hape itu sangat hati-hati. Maklum saja, kereta Ekonominya sedang padat merayap. Dua kali, tiga kali aku membalas sms. Tiba-tiba saja….
JAMMMM…… BBBBBREEEETTTTT!
Mataku terbelalak dan kuperhatikan raut wajah laki-laki itu. Juga raut wajah laki-laki di sebelahnya. Kronologis ceritanya terjadi saat, si laki-laki sedang mengeluarkan hape dan membalas sms sepertinya. Posisi laki-laki itu ada di dekat gerbong pintu kereta sebelah kanan (berlawanan denganku, arah menuju Jakarta Kota). Dan saat itu, mungkin hapenya tidak terpegang dengan kuat, dan berhasil dijambret dari luar kereta. Pelakunya padahal hanya seorang anak-anak. Saat itu, terdengar suara hape terjatuh sangat keras.
PRANGGGG!
Dan laki-laki bertopi itu berkata, “Mas, hapenya?” Dan dengan wajahnya yang kebingungan, laki-laki berkemeja kotak-kotak itu pun merespons, “Biar saja, hapenya sudah rusak kok, Mas.” Kulihat masih tersimpan tanda tanya dan kebingungan di raut wajahnya. Aku pun masih lekat memperhatikan kedua laki-laki itu. Sayang kan kalau dilewatkan begitu saja.
Semoga kisah nyataku kali ini, di pagi yang mellow yellow, bisa lebih mengingatkan Anda semua, Friends, “Waspada di manapun Anda berada! Jangan kebanyakan Gaya kalau lagi di jalan! Okay, Met aktivitas, salam sayang selaluhhhhh….. :)
India: A Hot Kiss for You
“Cha, sini naskah Travelling-nya Bila yang kerjain! Atau, sebagian kamu, sebagian aku?”
“Jangan, Bil… kalau mau yang ngerjain satu orang saja, nanti laen gaya.”
Terlihat senyum simpul dari balik kerudung wanita yang katanya pecinta kopi dan cokelat ini. Aku pun bergegas membalas senyumnya itu, sambil sesekali memainkan laptopku yang sudah ada di hadapanku. Terlihat pada layar desktopnya berjuta potoku dengan berbagai gaya. Hehehe…
Kumulai aktivitas hari itu dengan membaca “Bismillah” memastikan agar semuanya berjalan dengan lancar. Dan berharap, hari itu ada panggilan kerja dari sebuah perusahaan kepadaku. Namun, bukan panggilan kerja yang kudapat, tapi panggilan dari atasanku yang memintaku untuk mem-proofread naskah “Travelling” itu.
“Bil, tolong naskah ini di proofread saja, karena sudah Mbak edit. Hanya hal-hal kecil saja yang patut diperbaiki.”
“Iya, Mbak.”
Saat kali pertama menyentuh naskah itu, yang terlintas di bayanganku adalah BOSAN. Bayangkan saja, tebal halaman hampir 300 lebih. Harus dikerjakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Namun, aku tak menyerah meskipun rasanya sejak surat kontrak kerjaku tak diperpanjang, aku ingin bunuh diri saja. Merasa bahwa aku sudah lagi tak berguna bagi kedua orangtuaku. Aku membaca kemudian naskah itu, perlahan dan penuh penghayatan. Aku tak ingin melewatkan naskah yang mengupas tuntas tentang Negara yang terkenal akan Taj Mahal nya.
Taj Mahal, I am Coming
Salah satu subbab yang kubaca berulangkali. Penulis, Mbak Ade berhasil membuatku begitu terharu membaca bagian itu. Di mana penulis mendeskripsikan Taj Mahal dengan apa adanya. Taj Mahal, sebuah bangunan yang didirikan oleh Shah Jahan untuk istri ketiganya, Mumtaz Mahal yang meninggal karena hendak melahirkan anak ke-14 nya. Sebelum masuk ke dalam Taj Mahal, akan terlihat sebuah kursi yang pernah dipakai oleh Ratu Diana saat Ratu berkunjung ke Taj Mahal. Tak jarang banyak turis atau warga India yang berpose untuk mengabadikan momen-momen itu. Ketika, masuk ke dalam Taj Mahal, akan terlihat berjuta-juta pahatan-pahatan yang menggambarkan tentang bagaimana hubungan sepasang suami istri itu dilukiskan secara vulgar. Sungguh, ketika kau melihat pahatan itu, kau akan tertegun atau bahkan berpikir “Betapa hebatnya pemahat dan desainer Taj Mahal itu!” Karena bentuk pahatan itu bukan seperti pahatan, tapi mirip seperti manusia.
Rickshaw Wallah
Namun, ada pula bagian subbab yang membuat hatiku terenyuh. Di mana masih terdapat rickshaw. Ya, sejenis becak tapi menggunakan jasa manusia. Yang menarik rickshaw wallah ini adalah manusia, bukan hewan atau menggunakan jasa mesin. Biasanya wallah kerap ditemui di pasar. Atau mengantarkan para turis berkeliling. Penggunaan rickshaw sebenarnya pernah dilarang oleh pemerintah India, tapi pada akhirnya ada satu daerah yang bernama Calcutta yang tetap memberlakukan rickshaw ini.
To be Continue….. (Masih ingin menuliskan kembali tentang India, Tunggu saya besok)
25 or 31
“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah diciptakan-Nya untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu mendapat ketenangan hati dan dijadikan-Nya kasih sayang diantara kamu. Sesungguhnya yang demikian menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir.” (Ar-Rum, 21)
Kata siapa saya nggak ingin menikah? Masak pingin menikah harus menumbar kepada semua orang. Terharu kalau membaca arti dari surat Ar-Rum, 21 itu. Sering kali pula berpikir, “Sudah umur 25 tapi, belum diperlihatkan tanda-tanda akan bertemu si Jodoh. Di manakah dia?”
Sewaktu usia saya masih menginjak ke 23, hasrat untuk menikah begitu menggebu. Gelar S1 sudah didapat. Pekerjaan sudah menetap. Tabungan pun terus merayap. Apalagi yang saya inginkan? Tentunya, menikah. Namun, Tuhan belum mentakdirkan saya untuk memiliki suami di usia 23. Berlalulah ia.
Hingga tak sadar usia pun bertambah. Di usia ke 24 ini, saya masih bersemangat dan beristikharah dengan apa yang saya lakukan sehari-harinya. Aktivitas kantor menyita waktu saya. Hingga, tak ada lagi celah tersisa untuk berpikiran yang macam-macam. Kehidupan kos pun teramat membantu saya dalam menangani kesepian yang menyerang di setiap malam.
Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri. Saya kesepian. Saya sudah seharusnya berumah tangga seperti teman-teman lainnya. Tapi, Tuhan belum memberikan restunya kepada saya. Apa saya harus melawan? Apa saya harus memaki-makinya? Tidak…. Itu tak seharusnya saya lakukan. Pengalaman gagal menikah di tahun 2009 seharusnya memberikan hikmah yang luar biasa kepada saya. Kalau tidak, mungkin saya akan menjadi Nyonya Muda yang punya segudang aktivitas. Jauh dari keluarga. Jauh dari orang-orang tercinta. Biarlah, saya ikhlas. Rela bahkan, dia menjadi miliknya.
Kini, usia 25 mendekati saya dengan begitu akrab. Pekerjaan yang bikin saya “santai” setiap harinya. Bagaimana tidak santai, kantor masuk pada pukul 08.00, dan saya bisa datang pada pukul 07.50. Belum lagi, saya bisa bekerja sambil memakan cemilan atau bahkan makanan berat sekalipun. Ditambah lagi, gaji double di hari weekend. Subhanallah, nikmat-Nya memang luar biasa. Semakin banyak kita bersyukur, Tuhan pasti memberikan lebih bagi kita. Itu terjadi pada saya.
Sayang, lagi-lagi saat saya harus menghadiri pernikahan teman. Semua itu musnah seketika. Saya tak lagi bisa merasakan nikmatnya dunia. Saya meleleh saat berada di pelaminan teman. Berfoto dan mengucapkan “Selamat” kepada mempelai. Saat itu, hanya terucap, “Ya Tuhan, kapan saya bisa seperti ini?”
Sejujurnya, saya pribadi belum ingin menikah, tapi saat melihat sorot mata Ibu yang sudah semakin tua dan berharap secepatnya mendapatkan pasangan, saya ingin segera mengakhiri masa lajang saya. Tapi, saya ragu, apakah di usia ke 25 ini? Padahal, bulan Juli 2012 besok, saya ingin melanjutkan studi saya. Setidaknya, mengurangi rasa kesepian yang mendera sembari menunggu sang Jodoh. Dan, beraharap saat usia saya menginjak 31, saya bisa naik ke pelaminan dan ada seseorang yang memasukan cincin ke jari manis saya. Coba tebak, apakah saya akan menikah di usia ke-25 atau ke-31?
2/3 Malam
Dua minggu lalu, aku masih bisa tersenyum. Tersenyum menghadapi apa yang akan terjadi ke depannya. Namun, malam tadi berbeda dengan malam lainnya. Masih bisa kurasakan empuknya kasur busa. Masih kurasakan tubuh ini hangat terbalut selimut. Tiba-tiba aku berpikir, “Apakah aku harus terus dalam keadaan seperti ini ke depannya?” “Apakah Dewi Fortuna akan terus merangkulku dari belakang?” “Apakah aku akan terus berada dalam zona nyaman?”
Penat yang kurasa. Sesak menghimpit dada. Air mata pun jatuh seketika. Aku lemah ternyata. Aku tak kuasa menahan derita. Aku galau. Aku gelisah. Aku putus asa. Kaki ini berjalan perlahan. Meraih pintu toilet dan membasuh wajah ini dengan sucinya air wudhu. Satu tetes air mata kembali hadir. Lama kelamaan, dua tets, tiga tetes, empat tetes, dan akhirnya aku tak kuasa membendung air mata itu untuk tida meluap-luap. Lega yang kurasa…
Kugelar sajadah cinta dan bergegas kupakai si ungu, mukena pemberian orangtua murid privatku. Aku teringat perkataan teman kos, “Sepertinya untuk saat ini, kamu perlu shalat Hajat deh agar kamu tahu pekerjaan apa yang sedang menantimu. Pekerjaan yang terbaik menurut penglihatan-Nya.”
Mulailah aku meniatkan hati untuk melakukan shalat Hajat terlebih dulu. Lau, kusambung dengan shalat Tahajud. Aku rapuh ternyata. Air mata ini terus meleleh. Aku teramat merindukan-Nya. Aku mencinta-Nya ternyata. Dan selama setahun aku sibuk bercinta dengan duniawi, bukan menunggunya di 2/3 malam.
Subhanallah, aku masih tetap dirangkulnya. Dan aku jatuh ke dalam dekapannya. Aku kembali melakukan ritualku dengan-Nya. Dan, kini aku harus melewati semuanya. Surat kontrak kerjaku yang sudah habis bukanlah keputusan mutlak bagiku untuk menggali rezeki-nya di Bumi ini.
@Pojok Kamar Kosan, Lenteng Agung
Langganan:
Postingan (Atom)