Rabu, 23 November 2011

2/3 Malam


Dua minggu lalu, aku masih bisa tersenyum. Tersenyum menghadapi apa yang akan terjadi ke depannya. Namun, malam tadi berbeda dengan malam lainnya. Masih bisa kurasakan empuknya kasur busa. Masih kurasakan tubuh ini hangat terbalut selimut. Tiba-tiba aku berpikir, “Apakah aku harus terus dalam keadaan seperti ini ke depannya?” “Apakah Dewi Fortuna akan terus merangkulku dari belakang?” “Apakah aku akan terus berada dalam zona nyaman?”
Penat yang kurasa. Sesak menghimpit dada. Air mata pun jatuh seketika. Aku lemah ternyata. Aku tak kuasa menahan derita. Aku galau. Aku gelisah. Aku putus asa. Kaki ini berjalan perlahan. Meraih pintu toilet dan membasuh wajah ini dengan sucinya air wudhu. Satu tetes air mata kembali hadir. Lama kelamaan, dua tets, tiga tetes, empat tetes, dan akhirnya aku tak kuasa membendung air mata itu untuk tida meluap-luap. Lega yang kurasa…
Kugelar sajadah cinta dan bergegas kupakai si ungu, mukena pemberian orangtua murid privatku. Aku teringat perkataan teman kos, “Sepertinya untuk saat ini, kamu perlu shalat Hajat deh agar kamu tahu pekerjaan apa yang sedang menantimu. Pekerjaan yang terbaik menurut penglihatan-Nya.”
Mulailah aku meniatkan hati untuk melakukan shalat Hajat terlebih dulu. Lau, kusambung dengan shalat Tahajud. Aku rapuh ternyata. Air mata ini terus meleleh. Aku teramat merindukan-Nya. Aku mencinta-Nya ternyata. Dan selama setahun aku sibuk bercinta dengan duniawi, bukan menunggunya di 2/3 malam.
Subhanallah, aku masih tetap dirangkulnya. Dan aku jatuh ke dalam dekapannya. Aku kembali melakukan ritualku dengan-Nya. Dan, kini aku harus melewati semuanya. Surat kontrak kerjaku yang sudah habis bukanlah keputusan mutlak bagiku untuk menggali rezeki-nya di Bumi ini.
@Pojok Kamar Kosan, Lenteng Agung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar