Rabu, 23 November 2011

Developer "Nakal"

         Sebuah daerah yang hampir 6 tahun terakhir sering dilanda banjir. Selain dekat dengan pusat belanja tradisional, daerah tersebut merupakan daerah dataran rendah. Daerah yang dihuni oleh banyak perumahan warga, sebut saja KPR. Tak hanya itu, di dalam KPR itu pun masih terdapat rumah-rumah pribumi yang bertingkat-tingkat. Tak kalah jauh besarnya dengan KPR. Sayang, dari tahun ke tahun daerah itu memang semakin ramai, namun sejak ada pusat belanja tradisional terlihat amat sangat buruk.
Sewaktu aku masih duduk dibangku SMA, aku sering sekali melewati daerah tersebut. Jalan satu-satunya untuk sampai ke sekolah waktu itu hanya dengan melewati daerah tersebut. Mungkin, saat musim kemarau datang, hanya terik matahari saja yang kurasakan. Dan bisa sedikit terobati dengan menggunakan payung atau topi bila aku kepanasan. Tapi, jika musim hujan melanda. Aku terpaksa harus membayar angkot dua kali lipat lebih mahal dibandingkan saat musim kemarau. Karena angkot tersebut akan “memaksakan diri” untuk menyeberangi air yang memiliki kedalaman tinggi saat hujan datang. Jika tidak memungkinkan untuk menyeberang dengan selamat, aku harus turun dari angkot tersebut dan bersahabat baik dengan air yang terbilang kotor itu lalu kembali pulang ke rumah.
Pernah juga sekali seumur hidupku, aku menyeberangi genangan air yang tinggi itu dengan menggunakan becak. Alhasil, aku hampir terbawa oleh arus. Untung saja, Allah masih menyelamatkanku. Aku pun selamat dari arus air itu. Dan kapok untuk tidak melakukan hal itu lagi. Lebih baik aku bolos atau menunggu hingga genangan air itu surut.
Saat ini, setiap pagi, saat hendak pergi ke kantor, selalu aku merasakan bau yang tak sedap. Bau busuk dari sampah yang berserakan di mana-mana. Lalat beterbangan ke sana-kemari. Fungsi TPU yang sudah disediakan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Teramat sangat disayangkan. Dan yang sangat memperparah keadaan adalah bangunan KPR baru yang selalu bertambah dari tahun ke tahun. Semua itu ulah “developer” nakal yang dengan sengaja membangun beratus-ratus KPR di daerah itu.
KPR yang “sengaja” dibangun di area tersebut memang terlihat sederhana dan “mungkin” terbilang murah. Menurutku, KPR itu cocok sekali bagi para pengantin baru. Pastinya, pengantin baru akan mencari KPR yang memiliki uang muka “murah” dan cicilan yang tidak terlalu mahal. Parahnya lagi, pembangunan KPR itu sepertinya kurang berkualitas dan kurang begitu diperhatikan oleh developer. Lahan luas dan kosong yang awalnya merupakan dataran rendah, malah dibuat meninggi dengan menumpukkan tanah yang hampir sebagian besar terdapat sampah di dalamnya hingga membentuk sebuah gundukan yang tinggi. Bahan-bahan yang digunakan terbilang tidak awet. Contoh kecilnya saja, fondasi KPR itu terbuat dari batu batako bukan batu bata asli. Bayangkan saja, apabila KPR itu hendak direnovasi oleh si pemilik, mungkin akan sangat terkejut karena tanah di rumahnya dipenuhi oleh sampah yang tertimbun di dalamnya. Di sekeliling KPR itu pun terdapat TPU yang sampahnya tidak pernah habis. Mungkin karena masih terdapat pusat belanja tradisional itu. Jadi, sampah masih terus menggunung setiap harinya.
Kini, hampir sebagian KPR itu telah terisi oleh warga pendatang. Dan sang developer ”nakal” itu pastinya sedang menikmati hasil usahanya. Semakin banyak pendatang yang menempati KPR itu, maka akan semakin banyak juga KPR yang akan dibangun kembali di daerah tersebut. Bayangkan saja, tiba-tiba banjir melanda daerah itu kembali. Meskipun KPR itu sudah ditinggikan, mungkin hanya dalam jangka waktu pendek saja bisa bertahan, selebihnya gundukan tanah itu akan terkikis perlahan-lahan. Pendatang pasti akan terkejut dan merasa ditipu oleh sang developer. Lalu apa jadinya kalau sudah begitu. Siapa yang patut dijadikan kambing hitam?

***













Tidak ada komentar:

Posting Komentar