Jumat, 14 Oktober 2011

1/2 Pantatku


… kebayang enggak sih kebagiaan tempat duduk di angkot hanya ½ pantat?
Masya Allah, enggak kukuh pegalnya. Habis mau bagaimana lagi, wong keadaannya memang harus seperti itu. Mau bilang “GESER DONG DIKIT!” kayaknya enggak mungkin banget, mau geser ke mana, ke kanan… kasihan yang duduk paling pojok, ke kiri… bisa-bisa aku bonyok! Mau untung malah jadi buntung. Beginilah nasib anak sekolahan, naik angkot selalu tertindas.
             Ceritanya begini, duluuu sekaliii….
            Sejak naik kelas tiga SMA, aku rajin banget tiba di sekolah bersamaan dengan bel sekolah yang berdentang. Yup, pukul 6.45. Entah kenapa ketika menjajaki kelas tiga SMA, aku selalu tiba di sekolah tepat pukul 7.00. Mungkin bawaan otak kali yah. Bisa jadi juga karena sering makan otak-otak di kantin sekolah yang murah meriah sampai muntah. Lho apa hubungannya? Ada sih sedikit, karena rajin makan otak-otak, aku jadi malas. Nah lho? Harusnya kan bisa fresh dan rajin ke sekolah, tapi kenapa jadi malas yah? Bukannya otak-otak dicampur dengan olahan ikan segar? Alasannya, karena otakku sudah diperas (emangnya cucian basah, pakai segala diperas) di sekolah selama kurang lebih 8 jam, dari pukul 7.00 sampai pukul 15.00. Mulai  belajar pukul 7.00 sampai pukul 12.00, sisanya dipakai untuk les tambahan. Bukan les tambahan seperti yang dilakukan anak-anak elite, tapi hanya sekadar pendalaman materi di sekolah saja. Itulah alasan kenapa aku sangat hobi sekali tiba di sekolah pukul 7.00.
            Sejauh ini, aku tidak pernah menyesal karena namaku masuk buku agenda siswa-siswi yang tiba di sekolah terlambat. Sayangnya, pagi itu aku teramat sangat menyesal. Tapi penyesalan itu mendadak jadi sepenggal kisahku yang konyol jika aku mengingatnya saat ini. Penasaran kan? Baiklah, sebelum lupa membaca cerita saya akibat prolog yang terlampau panjang dan ngalor-ngidul alias ke sana kemari enggak jelas, silakan simak “½ Pantatku” versi Saya. Jangan lupa, bacanya bismillah terlebih dahulu, yak (sebenarnya mau mengaji atau baca cerita sih?) Hehe.
            Suerrr, pagi tengah buta saat itu, aku sudah seharusnya siap-siap berangkat ke sekolah. Sayangnya, peralatan tulis menulisku belum sempat kurapikan. Kartu ujianku mendadak hilang. Belum lagi, sepatuku yang kebasahan, akibat aku mencucinya di sore hari dan tak ada sinar matahari. Arrrrggggghhhh, kesalnya. Biasanya aku tak seperti itu, aku seorang yang terencana (beratnya ini kata, melebihi beratnya beban hidupku, lebay amat ya?). Mungkin karena hari pertamaku menghadapi ujian akhir nasional, mendadak aku grogi dan serba salah. Alhasil, grogi dan serba salah itu berlanjut hingga aku naik angkot. Seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah, aku tak lupa untuk minta uang jajan dulu sama si Mamah (sebutan tercintah untuk ibuku). Padahal, uang jajannya enggak banyak banget, cuma Rp. 5.000,-
            “De, pensil 2B udah diraut? Udah dibawa dua-duaanya? Penghapus jangan sampai ketinggalan. Terus, kartu ujian udah dimasukin ke tas? Bawa buku pelajarannya, biar bisa baca-baca di sekolah, jangan kebanyakan merhatiin orang. Ditanya, malah diem aja?”
Nih, orangtua rempong banget ya. Terus... terus... terus tidur di dalam kelas biar otak fresh waktu lihat soal UAN, celetukku dalam hati.
“Iya, udah semua. Ada sih yang belum, uang jajan mana, Mah?”
“Enggak usah dibilang juga, bakalan Mamah kasih.”
“Iya, cepetan, Mah. Rp. 5000,-”
“Jangan lupa, isi soalnya jangan buru-buru. Biarin orang lain ke luar kelas duluan. Diperiksa sampai waktunya habis. Dengar enggak, De?” kata Mamah sembari memberikan uang Rp. 5.000,- kepadaku.
“Iya,” ucapku sembari mencium punggung tangan dan keningnya. HAH? Berkali-kali diperiksa? Baca sekali aja udah mabok, apalagi berkali-kali… yang ada malah tambah butek, hati kecilku bernyanyi merdu.
             SWING….
            Melesat aku bagai kilat. The Flash saja lewat. Akhirnya aku sampai juga di depan gang. Kita sebut nama gangnya, Kepuh II. Gang yang selalu ramai dipenuhi oleh orang-orang yang hendak beraktivitas. Dari mulai ibu-ibu, bapak-bapak, karyawan-karyawati, pedagang sayuran, bahkan pedagang ikan pindang pun ada. Gang ini seperti pasar ya, sampai ada pedagang segala. Perlu diketahui kalau yang tidak terlalu dominan terlihat di gang ini adalah anak sekolahan. Maklum saja, anak-anak sekolahan sepantaran aku, biasanya mereka hanya berjalan kaki ke sekolahnya. Kebanyakan dari mereka memilih sekolah yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Mungkin terbentur oleh biaya transportasi, jadi enggak harus pakai angkot segala. Kebanyakan dari mereka juga, memiliki orangtua yang hanya berprofesi sebagai petani atau nelayan. Kalian bisa mengiranya sendiri berapa penghasilan mereka per harinya. Sedih rasanya apabila melihat keadaan mereka yang terpaksa untuk tidak melanjutkan sekolah setelah tamat SD.
Aku termasuk yang beruntung lah. Lanjut lagi ke ceritaku ya. Transportasi di daerahku terbilang sangat sulit. Mengingat letak daerah yang terpencil dari pusat kota. Alhasil, aku harus bersembunyi di balik tubuh mbak-mbak dan mas-mas yang akan pergi kerja menggunakan jasa supir angkot agar aku bisa naik angkotnya. Bayangkan? Bak anak kecil yang sedang main petak umpat, kan? Begitulah keseharianku sewaktu SMA dulu.
Kali itu, mengingat UAN mulai pukul 7.30, aku harus pintar bersembunyi di balik mbak-mbak dan mas-mas itu. Berhasil akhirnya. Ada salah satu tetangga si Mamah yang kebetulan akan pergi kerja searah denganku. Aku pun meminta izinnya agar menyembunyikan aku di balik tubuhnya.
“Mbak, aku boleh enggak ikutan nebeng Mbak naik angkot?”
“Lho, kan tinggal naik aja.”
Aduuuh, si mbak ini gimana sih. Naik ke atas pohon sih, iya aja, bebas. Ini kan mau naik angkot. Dijamin 100% kalau si angkotnya enggak akan berhenti, waktu lihat anak sekolah mau naik, apalagi anak sekolahnya kayak aku. Hitam, kekar, berjerawat, parahnya lagi hidup. Jangan lupa tambahin manis. Hehe.
“Ya udah Mbak, bareng ya!” senyum meringis ketakutan.
Si Mbak itu pun enggak lama memberhentikan angkot R.15 jurusan Sangiang-Cimone. Angkot itulah yang akan mengantarkanku ke sekolah. Saat angkot itu berhenti, leganya hatiku. Bahkan saat itu, tak terbesit sedikit pun ketakutanku akan UAN. Yang penting naik angkot dulu. Hehe. Sayangnya, ketika angkot berhenti, ternyata angkot itu sudah penuh sesak. Hanya tersisa dua tempat duduk. Sebelah kanan dan kiri. Sempat terjadi gontok-gontokan dengan penumpang lain yang akan naik angkot tersebut. Namun, mereka tidak berhasil. Si Mbak itu pun akhirnya naik dan memilih duduk di belakang Pak Supir (untuk penumpang berkapasitas 6 orang). Aku…? Di mana ya? Yang jelas bukan di bumperbelakang mobil. Aku duduk di sebelah kiri (untuk penumpang berkapasitas 4 orang). Di saat itulah, suasana mencekam terjadi.
BUUUUK
Seperti itulah bunyinya, meskipun kenyataannya tidak seperti itu. Aku hanya mengikuti yang lain saja sewaktu menulis bunyi suara orang sedang duduk.
Masya Allah, ketika aku duduk ternyata hanya kebagian ½ pantat saja. Enggak lebih enggak kurang. Pas di tengah-tengahnya. Untungnya dapat di pinggiran, jadi bisa pegangan ke pegangan atas mobil. Untung boleh untung tetap saja enggak nyaman duduknya. Mau nyaman bagaimana kalau seluruh penumpang di angkot itu memerhatikan cara dudukku yang miring sana miring sini, enggak karuan. Terpaksa deh aku gunakan kakiku untuk menahan tubuhku agar seimbang sewaktu duduk. Mau bilang “Geseran bisa enggak?” ada rasa segan karena aku hanya anak sekolahan, yang kalau bayar angkot pasti selalu dikira murah meriah. Berbeda dengan tarifnya karyawan-karyawati. Lagian juga, kalau geser ke kanan, kasihan penumpang yang di pojok, kalau gesernya ke kiri, akunya yang jadi bonyok. Enggak sekalian aja di lempar ke luar. Jadi, mengalah saja lah aku. 
Lagi dalam keadaan mencekam, tiba-tiba saja aku merasa masuk angin. Bagaimana enggak masuk angin, pergi dari rumah aku belum sarapan dan aku duduk di dekat pintu. Otomatis udara masuksemriwing dan mengenaiku. Aku mulai merasa panas dingin. Gemetar tanganku. Sedikit berkeringat. Ada hal yang rasanya ingin sekali ku keluarkan saat itu. Sepertinya akan sangat membantuku mengurangi rasa mual di perutku. Coba ditebak? Yup, benar. Aku benar-benar ingin mengeluarkan gas beracun yang berbentuk abstrak itu. Namun, apa tidak keterlaluan jika aku mengeluarkannya di dalam angkot? Pikiran itu sejenak terlintas di pikiranku. Untuk mengalihkan pandangan para penumpang lain agar tidak memerhatikanku, kuajak si Mbak itu ngobrol.
“Mbak, masuk kerja pukul berapa?”
“Pukul 08.00, De.”
“Oh… enak ya, Mbak. Nyantai. Terus, habis naik angkot ini, naik angkot apa lagi?” Sesekali aku membenarkan posisi dudukku.
“Naik angkot R 03,” sembari tersenyum kepadaku.
“Yang jurusan Kotabumi-Pasar Baru ya?”
“Ya, kok tahu?”
“Dulu pernah naik angkot itu, waktu ke Pasar Baru sama Mamah.”
Tiba-tiba aku sudah tak sanggup lagi. Kebetulan angkot itu sebentar lagi akan tiba di depan sekolahku. Jadi, aku pun menghembuskannya pelan-pelan.
TUUUT… BREEET… BREEET
Ya ampun, gol beneran ternyata. Lega sekali rasanya. Akhirnya angin itu keluar dengan lancarnya, bebas hambatan, seperti jalan tol. Hihi. Dan ada satu penumpang yang saat itu komplain karena mencium sesuatu yang teramat “menjanjikan”.
 Si Mbak berbaju ungu itu menutup hidungnya. “Bau apa ya?” matanya melirik ke penumpang di sebelahnya, yang ternyata teman kerjanya.
            Si Mbak berkerudung merah pun meresponsnya. “Iya ya, kayak bau kentut.”
            “Bau kentutku tahu, maaf ya,” batinku berkata.
 “Kamu kentut kali?”
“Enak aja, bau telor ayam kampung, busuk  banget. Kayak enggak pernah BAB nih baunya.”
“Hahaha…,” mereka tertawa cekikikan tanpa arah.
Hwuaaaaaaaaaaaa…. TER… LA… LU
Bergegas, kuberhentikan angkot itu karena sudah tiba di depan sekolah. Dan aku pun turun dengan terbirit-birit. Merasa masih kucium bau tak sedap dari gas beracun itu. Sampai-sampai kedua Mbak itu menutup hidungnya hingga aku turun dari angkot. Begitupun denganku. Kututup hidungku hingga aku turun dari angkot untuk menyembunyikan identitasku kalau bukan aku pelakunya. Hehehe.
“STOP, Pak…,” kataku sembari kukeluarkan uang sebesar Rp. 1.500,-
Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku sangat senang karena meskipun aku duduk hanya kebagian separuh saja, mereka masih bisa merasakan penderitaanku. Berbagi gas beracun yang baunya melebihi telor ayam kampung busuk. Kesenangan ini, mampu membuatku lupa kalau sebenarnya ½ pantatku masih terasa pegal dan cenat cenut! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar