Jumat, 14 Oktober 2011

Indomie Satu Atap


10:09
Hoammm….
Terbangun aku di pagi itu. Tanpa sadar ada sebuah pesan singkat yang kulihat di layar si Bold. Terkejut bukan main aku kala itu. Bergegas kubaca pesan itu, dan aha… ternyata dari si dia, soulmate-ku. Kami pun ber-sms ria.

0817911****
Di mana ‘beruang madu’?

08131563****
Di hatimu. Hehehe…

Si bold pun berbunyi kembali dengan nada khas yang dipakai di soundtrack film “3 Idiots”. Kubuka dan kubaca.

0817911****
Hmm, today ke mana? Ke rmh nenek gue, mau?

08131563****
Ga kmn2, ya udah. Aq tgg di mana?

0817911****
Gw jmpt di Jelambar ya?

08131563****
Ya udah, smpe situ plg jm 11.00

0817911****
Ya, honey, wait for me.
Now,
gw mo nyuci dlu.
Cu, bye.

08131563****
:D, CUL


4 hours later
Tepat pukul 11.00, aku pun sampai di Jelambar. Sesuai janji kami, dia pun sudah menungguku dengan setia di shelter Jelambar itu. Ya, tangannya bergegas menggandengku dengan mesra. Seolah-olah tak membiarkan kaum Adam yang lain mengizinkan mereka untuk melirikku walau hanya sedetik saja.
            Tepat di hadapan kami muncul metromini berwarna oranye, jurusan Teluk Gong. Kami pun menaiki metromini itu. Kurang lebih 1 jam, kami telah sampai. Cukup berjalan kurang lebih 15 menit, sampailah di rumah neneknya.
            Setibanya aku di sana, hanya sepi yang kurasa. Tempat tinggal yang jauh dari keramaian. Cocok untuk tempat beristirahat. Aku pun tak sungkan-sungkan untuk masuk ke dalam rumah alm. neneknya.
            Kurebahkan diriku di karpet permadani dan memandangi rumah itu. Hanya ada perasaan senang dan bahagia karena bisa berada satu atap di siang itu bersamanya. Lantunan suara adzan yang bergema, membuat lamuanku buyar seketika. Lantas, ia menyuruhku untuk mengambil air wudhu dan shalat berjamaah di rumah itu.
           
12:35
Dia beriqomah seketika, dan aku bersiap-siap untuk shalat berjamaah bersamanya. Tak disangka, begitu banyak keberkahan di hari itu. Membayangkan apabila aku benar-benar tercipta untuknya. Subhanallah. Meskipun aku tak mengenalnya dengan baik, baru hitungan bulan saja. Seolah-olah, aku yakin bahwa ia tercipta untukku.
Kuamati dirinya yang begitu khusyuk beribadah. Membuatku menitikkan air mata. Ya Tuhan, mengapa Engkau pertemukan aku dengannya. Mengapa Engkau tak izinkan aku untuk bisa terus mendampinginya. Sanggupkah aku untuk bisa berpisah dengannya?
Ya, bulir-bulir air mata itu berhenti seketika saat dirinya mengucapkan “Assalamu’alaikum” pertanda bahwa ternyata shalat kami sudah selesai dilaksanakan. Alhamdulillah.
Bergegas kuusap air mataku dan mencium tangannya. Lantas, seusai shalat ia bertanya kepadaku. Pertanyaan yang biasa sebenarnya, tapi buatku itu pertanyaan yang membuatku meleleh seketika.
“Tadi makan jam berapa?”
“Jam 7, pas sarapan.”
“Oh, kita masak Indomie aja ya buat makan siangnya?”
Kuanggukkan kepalaku, pertanda aku menyetujuinya.
“Tapi nggak usah pakai telur ya? Kamu kan nggak makan telur.”
“Iya.”
“Gimana kalau pakai cabe rawit aja, diiris-iris. Terus dimasukkan ke dalam Indomie-nya.”
“Iya.”
“Daritadi ‘iya-iya’ terus.”
Aku hanya melemparkan senyuman kepadanya. Entah apa lagi yang bisa kuucapkan selain kata “Iya”.
“Oia, Indomie rasa ayam bawang aja ya? Cuma itu yang tersisa. Hehe… Terus, berhubung ayamnya nggak ada, kita ganti pakai gorengan aja. Aku tadi beli gorengan tahu sama tempe.”
“He..ehem… Tapi aku boleh ikut masak?”
“Kamu duduk aja, biar aku yang masak.”
Masya Allah, dia menjamu aku dengan begitu istimewanya bak Putri Cinderella. Kuturuti keinginannya. Aku duduk di sofa itu dan sekilas memandang ke arahnya yang sibuk ingin memasakan Indomie untukku.

15 menit kemudian
“Panas banget ya?” kataku.
“Nyalain aja kipas anginnya!” balasnya sambil mengaduk-aduk Indomie-nya.
“Iya.”
“Udah lapar ya? Bentar lagi matang kok Indomie-nya. Tinggal dimasukkin bumbu sama cabe rawitnya, biar HOT. Kan makin enak rasanya.” Dia menengok ke arahku.
“He ehem, awas kompor gasnya meleduk. Jangan besar-besar apinya,” ketusku.
“Nggak akan.”




14:00
Meskipun rasa lapar mendera aku, tak kuhiraukan sama sekali. Cukup kubalas tatapannya dengan senyumanku untuk tidak membuatnya khawatir kalau aku memang kelaparan. Hehehe.
Dan tak lama kemudian, Indomie yang dimasaknya pun siap disajikan ke hadapanku. Lengkap dengan gorengan tahu dan tempenya. Dia juga menyajikan Indomie itu dengan nasi putih yang baru saja dimasaknya di ‘langseng’−semacam tempat untuk memasak nasi di tungku.
Hmmmm, harum sekali wangi aroma Indomie rasa ayam bawangnya. Meskipun ayamnya tidak ada, nikmatnya Indomie tak tergantikan.
“Hmmm, lama ya? Yuk, makan… Ntar kalau dingin nggak enak, mumpung hujan, jadi cepet dihabiskan Indomie-nya,” katanya mengedipkan sebelah matanya.
“Iya. Makasih ya udah masakin buat aku. Makin cinta sama kamu,” ucapku.

24 Mei 2011
Tanggal 28 Mei 2011 terlalu lama untukku. Uang tabunganku sudah habis terkuras karena berbagai keperluan. Sedangkan gajian masih lama. Alhasil, tadi malam aku berinisiatif untuk pergi ke warung Bude. Ya, membeli Indomie rasa ayam bawang lengkap dengan kerupuk kulitnya.
“Bude, beli Indomie. Biasa ya, satu.”
“Masak di sini apa sendiri?”
“Sendiri aja. Sekalian sama kerupuk kulitnya dua.”
“Iya.”

Berhasil kudapatkan Indomie rasa ayam bawangnya serta kerupuk kulitnya. Aku pikir makan Indomie pakai kerupuk kulit akan lebih mantap bila dibandingkan dengan gorengan. Tapi ternyata, bukan kerupuk kulit atau gorengan yang membuat Indomie itu enak dimakan. Tapi, karena Indomie itu yang memasak aku, bukan dia−soulmate-ku yang memasaknya dengan hati, sehingga meskipun terlihat sederhana tapi terasa nikmat dan berkahnya. Itulah ceritaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar