Jumat, 14 Oktober 2011

Everything That Counts can't Be Counted


Impossible!
Kata orang, patah hati itu rasanya sakit.
Kata orang, patah hati itu bikin naif.
Kata orang, patah hati itu bikin sensitif.
Kata orang, patah hati bisa bikin orang jungkir balik.
Kata orang lagi, patah hati itu bisa bikin bunuh diri.

HAH…?
Itulah yang terjadi pada diri saya. Meskipun saya dikelilingi banyak orang dewasa atau bahkan ibu-ibu muda yang sudah berkeluarga, tetap saja saya belum siap untuk patah hati bahkan ketika saya jatuh hati pada seorang pria nan menawan dan rupawan. Kenyataannya jauh sekali. Sejauh dirinya dan saya hingga saat ini. Sejauh sungai Gangga dan sungai Indus. Uhuk..uhuk… J
Suerrr…tekewer..kewer… sebenarnya saya agak sedikit keberatan untuk menyebutkan bahwa saya cinta sama dia. Kenapa? Nantilah saya ceritakan di penghujung cerita. Yang jelas saya suka sama seorang adam yang katanya mirip aktor India, sebut saja RM. Huaaaa…ganteng? 75% lah, tinggi? 81% lah, macho? 85% lah, gendut? 88%, romantis? 97% … Ternyata, kadar 97% itulah yang saya cari. Wanita mana yang tak suka dirinya dipuji? Wanita mana yang dirinya tak suka diberi puisi? Wanita mana pula yang dirinya tak suka diperlakukan bak putri? Jawabannya adalah karena ada rasa. Pertanyaan itu akan musnah apabila rasa itu punah.
Tibalah perjuangan seorang Sinta mencari Arjuna. Saya tak mengenal istilah ‘Arjuna Mencari Cinta’ atau ‘Kisah klasik Romeo dan Juliet’. Hingga akhirnya saya menjelajahi kota Metropolitan tahun 2004. Tahun di mana saya kali pertamanya menginjakkan kaki di kota Metropolitan yang terlihat sangat eksotis di malam hari. Sorot lampu taman di setiap sudut kota terlihat menakjubkan, dan sesekali terlihat begitu romantis dengan kerlap kerlipnya yang memancar ke segala penjuru. Pernah berkhayal seandainya ada kunang-kunang yang menghampiri saya di bawah kerlap kerlip lampu taman itu, alangkah bahagianya saya.
Khayal punya khayal, terjadilah saat takdir mempertemukan saya dengan RM. Bukan pertemuan yang biasa pada umumnya. Namun, pertemuan yang mungkin janggal bagi saya. Siang itu, saya enggak berniat sedikitpun untuk menonton program televisi. Hanya saja, kepala saya sudah terlalu penat dengan banyaknya tumpukan kertas putih. Maklum saja, namanya juga mahasiswi yang selalu dikelilingi oleh banyak tugas mata kuliah. Bukan penat karena banyak tumpukan kertas putih, tapi banyak terjemahan bahasa Inggris yang sulit dimengerti. Nyaris, saya kehilangan ide untuk mengerjakannya. Sayangnya ide itu pun keluar setelah beberapa menit program musik saya tonton. Ada sebuah running text yang sekilas saya baca tentang a handsome man yang berkirim salam untuk a beautiful lady. Sepertinya sudah almarhumah. Isi salamnya sangat menyentuh hati dan membuat saya sedikit bergidik ketika membaca running text tersebut.
Timbul berbagai pertanyaan di benak hati saya. Ada apa ya di balik salam si cowok itu? Apa si cowok itu baru patah hati? Kayaknya neh cowok, cintanya mentok banget sama tuh cewek, kok bias ya si cewek itu? Hmmm, penasaran yang begitu besar dan mendalam. Bukan sebuah kebetulan, RM saat itu mencantumkan nomor ponselnya. Saya pun berhasil mencatatnya. Bukan kurang kerjaan, tapi karena rasa kasihan. Saat itu juga, bergegas saya kirimkan sebuah SMS ke nomor ponsel itu dan sedikit ada respons. Tak apalah, baru awalnya saja.
Saya pun mulai sering mengirimkan SMS yang bertubi-tubi kepada RM. Mulanya biasa saja… (kayak lagu ya), tapi lambat laun ada rasa menyelinap di lubuk hati ini. Kok bisa? No, bukan pertanyaan ‘Kok bisa?’ tapi siapa yang bisa menolak saat cinta datang tiba-tiba. Siapa juga yang bisa menolak saat rasa tak kuasa untuk dibendung lagi. Tak ada sepertinya, ‘Love is Blind’. Tak mengenal usia, waktu, atau bahkan logika. Berawal dari curhat biasa, lama-lama obrolan kami semakin berbeda. Dari hal yangfunny, jadi suatu hal yang lovely. Di mana saya sangat merindukan SMS nya yang puitis dan melebihi pujangga. Saya hampir terkapar di kamar yang tak sedikitpun menyisakan ventilasi udara saat membaca SMS darinya. Untunglah masih ada satu celah kecil yang membuat saya masih bisa bernapas lega. Satu genteng yang bolong karena terlalu sering kena tetesan air hujan.   
Begitulah, makin sering curhat, makin sering tertawa bersama, perasaan saya kepada RM pun tumbuh subur bak tanaman yang senantiasa disirami, di beri pupuk, dan dipelihara tiap hari. Saat itulah, saya memutuskan untuk setia kepadanya. Namun, muncul keraguan pada saat yang bersamaan. Begitu banyak pertanyaan muncul. Namun, tak ada yang mampu menjawabnya. Apakah benar rasa ini tulus kepadanya? Apakah benar setia ini hanya untuknya? Apakah benar masa lajang ini harus diakhiri secepatnya? Terlalu banyak ‘apakah’, hingga saya memutuskan untuk beristikharah. Mohon petunjuk kepada-Nya.
Sebelumnya memang saya sudah sering mendengar kata ‘istikharah’ apabila mengalami keraguan atau mungkin ketidakyakinan dalam hati, tapi mengenal RM membuat saya benar-benar membuka lebar mata hati untuk segera melaksanakan shalat istikharah. Niatnya saat itu, supaya Allah Swt. memberitahukan kebaikan dan keburukan RM kepada saya. Sayangnya, saya terlanjur menaruh hati yang begitu teramat dalam hingga saya tak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang tulus atau mana yang butuh ‘imbalan’.
Tak hanya istikharah saja saya lakukan, puasa Senin-Kamis pun hampir menjadi makanan keseharian saya. Berhubung sewaktu kos dulu, teman sekamar saya memang sangat rajin beribadah, apalagi menjalankan puasa Senin-Kamis. Jadi, saya ketularan rajin puasa Senin-Kamis. Kali ini, niat yang saya panjatkan kepada-Nya berbeda. Saya mohon supaya Allah Swt. menunjukkan keburukannya. Kenapa?
Kurang lebih menjalin hubungan tiga bulan bersama RM, membuat saya sangat shock. Satu hal yang hingga saat ini masih jelas terekam di memory saya, RM untuk kali pertamanya mengkritik penampilan saya yang menurutnya unfashionable. Memang benar saya unfashionable, tapi saya masih merasa orang lain nyaman ketika berada di dekat saya. Hal itu sempat saya bantah dan RM tak menggubrisnya. Berlalulah saat-saat itu. Saya pun mulai berpikir keras, mengapa ia tega berkata seperti itu. Apakah fisik menjadi permasalahan yang sangat besar baginya. Sangat prinsipil kah? Sedikit demi sedikit, jawaban dari doa saya pun terjawab sudah.
Tenang rasanya hati ini. Hanya saja, saya masih belum bisa berpisah atau bahkan acuh kepadanya. Hidup saya seakan pucat, bagai langit tanpa awan. Gelap gulita. Tak berwarna. Saya pun kembali merajut ikatan sang Illahi. Saya semakin rajin melaksanakan shalat istikharah sembari berdoa. Dan Allah tunjukkan benar-benar jawaban dari semua doa saya. Siang itu, ia lagi-lagi mengajak saya kemovie theatre. Pada awalnya, memang selalu RM yang menguras habis kantong saku celananya untuk menjamu saya dengan fasilitas yang ada di kota Metropolitan. Dari berpindah Transjakarta hingga angkot kota. Dari rumah makan sederhana hingga rumah makan yang paling mewah. Semua RM yang mentraktir saya. Sayang, itu tak bertahan lama. Seiring berjalannya waktu, mungkin RM tahu bahwa saya mentok akan kehadirannya. Sebenarnya saya tak ingin suudzon terhadapnya. Namun, banyaknya pundi-pundi uang yang saya keluarkan ketika menghabiskan hari bersamanya, semakin jelas membuat saya berpikiran buruk kalau dia hanya memanfaatkan uang saya tanpa mau tahu perasaan hati saya saat itu.
Bayangkan saja selama tiga tahun, dengan polosnya saya belikan ia e-pulsa, makan enak di BK, nonton movie theater, hang-out bareng, padahal saya tak pernah sama sekali memberikan hasil jerih payah dari saya bekerja kepada orangtua. Hinanya saya hingga mementingkan kepentingan RM daripada kepentingan oranagtua sendiri. Nasi sudah menjadi bubur. Saya hanya bisa berpasrah diri dan dia, merenungi semua kesalahan fatal yang pernah terjadi dalam hidup saya karena menyukai RM tanpa logika. Biar Allah Swt. kelak akan menghakiminya.
Semakin sering saya berdoa dan beristikharah, semakin jelas pula Allah Swt. tunjukkan begitu banyak keburukan yang dimilikinya. Suka terlanjur suka, meskipun ada benci dan sesal telah mengenalnya, hati ini tak ingin berpisah darinya. Namun, apa artinya hidup dengannya tanpa ada rasa sedikitpun. Hanya menyiksa diri. Hanya menambah luka hati. Hanya mendekatkan diri pada patah hati.
Tidak ingin berkepanjangan, semuanya saya akhiri. Ini lebih adil baginya dan keluarga saya, meskipun kenyataanya saya teramat tersiksa. Saya jalani rutinitas seperti biasa. Tetesan air mata hampir menetes setiap kening saya menyentuh sajadah cinta. Entah pagi, siang, sore, ataupun malam hari. Meratapi semua yang telah terjadi. Merenungi kesalahan yang selama ini luput dari penglihatnan mata. Menyadari betapa hidup ini lebih bermakna tanpa kehadirannya. Mengakui bahwa cinta sejati tak bisa dibeli dengan apapun. Tak bisa dikotori dengan label bernama rupiah. Ia begitu suci, mungkin lebih suci nilainya dari sebongkah berlian.

Ya Tuhan, inikah mukjizat-Mu atas semua perih yang kurasakan. Ya Tuhan, inikah jawaban atas semua doa-doaku setiap malam. Ya Tuhan, inikah kehidupan baru yang harus aku jalani ke depannya. Sungguh aku tak bisa berkata apa-apa atas apa yang Kau berikan kepadaku. Mungkin aku hanyalah seorang hamba yang banyak meminta dan mengemis kepada-Mu. Namun, akan terus kuukir dan kuingat Kau di lubuk hati ini. Amin.

Saya pun terus belajar. Kali ini bukan hanya sekadar survive biasa tentang hidup, bukan sekadar membenahi diri, bukan sekadar menata emosi, bukan sekadar hidup tanpa dirinya. Bukan! Sekarang saya belajar untuk menjadi seorang wanita dewasa terbaik. Memiliki kematangan dalam berpikir, berkata, dan bertindak atas dasar logika. Bukan semata karena urusan ‘cinta’. Bukan semata mengindahkan agama. Semata-mata karena cinta Illahi. Dan percaya bahwa jodoh, rezeki, serta maut sudah ada yang menentukan. Tinggal kita berusaha untuk melangkah ke jalan yang diridhai Illahi. :)

“I am sure for one thing or that’s the way I think, I must change before I adapt to the way I am dictated. I just do not want to say that ‘Just when I think I have learned the way to live, life changes’. And not everything that counts in life can be counted.”
(Neng Sabila)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar