Rabu, 23 November 2011

25 or 31


“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah diciptakan-Nya untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu mendapat ketenangan hati dan dijadikan-Nya kasih sayang diantara kamu. Sesungguhnya yang demikian menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir.” (Ar-Rum, 21)
Kata siapa saya nggak ingin menikah? Masak pingin menikah harus menumbar kepada semua orang. Terharu kalau membaca arti dari surat Ar-Rum, 21 itu. Sering kali pula berpikir, “Sudah umur 25 tapi, belum diperlihatkan tanda-tanda akan bertemu si Jodoh. Di manakah dia?”
Sewaktu usia saya masih menginjak ke 23, hasrat untuk menikah begitu menggebu. Gelar S1 sudah didapat. Pekerjaan sudah menetap. Tabungan pun terus merayap. Apalagi yang saya inginkan? Tentunya, menikah. Namun, Tuhan belum mentakdirkan saya untuk memiliki suami di usia 23. Berlalulah ia.
Hingga tak sadar usia pun bertambah. Di usia ke 24 ini, saya masih bersemangat dan beristikharah dengan apa yang saya lakukan sehari-harinya. Aktivitas kantor menyita waktu saya. Hingga, tak ada lagi celah tersisa untuk berpikiran yang macam-macam. Kehidupan kos pun teramat membantu saya dalam menangani kesepian yang menyerang di setiap malam.
Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri. Saya kesepian. Saya sudah seharusnya berumah tangga seperti teman-teman lainnya. Tapi, Tuhan belum memberikan restunya kepada saya. Apa saya harus melawan? Apa saya harus memaki-makinya? Tidak…. Itu tak seharusnya saya lakukan. Pengalaman gagal menikah di tahun 2009 seharusnya memberikan hikmah yang luar biasa kepada saya. Kalau tidak, mungkin saya akan menjadi Nyonya Muda yang punya segudang aktivitas. Jauh dari keluarga. Jauh dari orang-orang tercinta. Biarlah, saya ikhlas. Rela bahkan, dia menjadi miliknya.
Kini, usia 25 mendekati saya dengan begitu akrab. Pekerjaan yang bikin saya “santai” setiap harinya. Bagaimana tidak santai, kantor masuk pada pukul 08.00, dan saya bisa datang pada pukul 07.50. Belum lagi, saya bisa bekerja sambil memakan cemilan atau bahkan makanan berat sekalipun. Ditambah lagi, gaji double di hari weekend. Subhanallah, nikmat-Nya memang luar biasa. Semakin banyak kita bersyukur, Tuhan pasti memberikan lebih bagi kita. Itu terjadi pada saya.
Sayang, lagi-lagi saat saya harus menghadiri pernikahan teman. Semua itu musnah seketika. Saya tak lagi bisa merasakan nikmatnya dunia. Saya meleleh saat berada di pelaminan teman. Berfoto dan mengucapkan “Selamat” kepada mempelai. Saat itu, hanya terucap, “Ya Tuhan, kapan saya bisa seperti ini?”
Sejujurnya, saya pribadi belum ingin menikah, tapi saat melihat sorot mata Ibu yang sudah semakin tua dan berharap secepatnya mendapatkan pasangan, saya ingin segera mengakhiri masa lajang saya. Tapi, saya ragu, apakah di usia ke 25 ini? Padahal, bulan Juli 2012 besok, saya ingin melanjutkan studi saya. Setidaknya, mengurangi rasa kesepian yang mendera sembari menunggu sang Jodoh. Dan, beraharap saat usia saya menginjak 31, saya bisa naik ke pelaminan dan ada seseorang yang memasukan cincin ke jari manis saya. Coba tebak, apakah saya akan menikah di usia ke-25 atau ke-31?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar