Rabu, 23 November 2011

Twitter... Don't Touch Me


Jumat pagi yang berawan, sudah terpampang dengan jelas sebuah NOTE
Friday: Sabila (TWITTER ORANGE & LINGKAR PENA)
Oh My God, diam menatapi catatan kecil itu sambil menyesap cokelat panas. Sesekali aku bertanya dalam hati, “CAN I DO THAT?” Jujur saja, minggu lalu aku memang sudah membuka akun twitter perusahaanku. Tapi, aku masih kaku dan hanya mengamati saja. Tanpa aku memainkan ikon yang ada pada twitter itu. Aku tak biasa (seperti lagunya almarhumah Alda). J
Lagi… lagi… dan lagi…. Hari ini, Jumat, October 21st, 2011, I MUST DO THAT! Aduhhhh, gimana ya? Masih menyesap cokelat panasku, dan menulis apa yang kualami ini (tulisan yang sedang kalian baca), aku masih tetap sibuk membuka semua ikon pada twitter itu. Yah, lagi-lagi kebuntuan yang kuhadapi, “WHAT I HAVE TO DO WITH THIS?”
Kepalaku mulai berat. Tumpukan buku dan naskah yang belum terbaca pun sempat aku sentuh dan lembar perlembar tentunya kubuka. Mencari sesuatu, ya… IDE. Dan akhirnya, setelah berperang urat syaraf di kepalaku ini, aku pun berhasil menuliskan status sederhana, “Pagi Twittie, kasih tahu dung bacaan seru kamu buat weekend besok?”And, all is well, hehehe… My job is done.
Seharusnya dia tak menyentuhku, tapi aku terpaksa menyentuhnya, dan semoga ini awal pembelajaran bagiku untuk memainkan twitter ke depannya!

Owh... No...


Stasiun Lenteng Agung, 17.30 WIB
Langit sore itu terlihat sangat gelap. Hilir mudik kendaraan beroda dua dan empat meluncur dengan sangat kencangnya. Di sepanjang jalan, banyak orang berjejer dengan beragam warna-warni pakaian. :) Salah satu di antara mereka adalah aku. Wanita dewasa berbalut gamis hijau tosca berkerudung pink salem dan bersepatu crocs siap menyeberang jalan.
Aku harus ekstra berhati-hati sewaktu menyeberang jalan karena tak ada jembatan penyeberangan di depan stasiun Lenteng Agung. Lagi pula, nyawaku kan cuma satu, bukan dua atau seribu, bahkan sejuta. Dengan lincahnya seorang aku pun melambaikan tangan berusaha untuk memberhentikan setiap kendaraan beroda dua dan empat untuk memberiku jalan. Ya, di belakang, di sebelahku ada banyak orang yang juga ingin menyeberang. Saat itu, akulah sang hero. (ceileee). Teringat lagunya Mariah Carey, “Hero”. Hehehe….
Kuucap “Alhamdulillah” dalam hati karena sudah terbebas dari kendaraan itu. Sekarang, tinggal mempercepat langkahku, untuk membeli tiket Ekonomi. Tiket yang terbilang sangat murah bagiku. Entahlah bagi orang lainnya. :) Terpenting bagiku adalah, bisa cepat sampai di rumah, memeluk erat ibuku. Tak peduli kendaraan seperti apa yang akan mengantarkanku. :)
Tak kurang dari 10 menit, aku pun sudah tiba di depan loket. Hmmm, lirik kanan lirik kiri itulah yang kulakukan pada awalnya. Bingung sebenarnya, ingin membeli tiket Commuter Line atau Ekonomi saja. Dan, setelah menimang-nimang, kuputuskan untuk membeli tiket Ekonomi saja.
Gue: Pa,k Commuter Line udah lewat ya?
Penjual Tiket: Barusan! (tersenyum ramah)
Gue: Owh…. Ada lagi pukul berapa ya, Pak?
Penjual Tiket: Pukul 6
Gue: Ekonomi, Juanda, Pak! (sembari memberikan uang sebesar Rp 1.500,-)
Penjual Tiket pun menyodorkan tiket Ekonominya padaku.
Nggak lama pun kereta Ekonominya datang dan aku bergegas menyeberang rel dan langsung berlari meraih dan masuk ke dalam kerumunan orang-orang di dalam kereta itu. Hufffttt, butuh perjuangan memang untuk masuk dan mencari tempat yang nyaman di dalam desakan kereta Ekonomi.
Aku pun berhasil meraih gerbong 5. Kurasakan embusan angin yang bisa menghilangkan rasa gerahku. Meskipun mendung dan terlihat akan hujan, tapi suhu tubuhku panas bukan main. Mungkin, karena aku terlalu banyak bergerak. :) Kuperhatikan sekelilingku. Ternyata gerbong 5 itu sebagian besar penumpangnya adalah laki-laki. Kaum hawa bisa dihitung jumlahnya.
Kuambil posisi yang bagiku nyaman, Pojok kereta dekat gerbong pintu sebelah kiri. Surga dunia karena pusara angina ada di situ. Di sebelahku ada sosok laki-laki cool. Di depanku ada sosok anak kecil serta orang dewasa laki-laki yang duduk. Di belakangku ada sosok mas-mas dengan pakaian yang acak-acakan tapi terlihat stylish.
Puas memperhatikan, aku pun mulai memainkan hape, karena memang ada pesan masuk. Kubaca dengan memegang hape itu sangat hati-hati. Maklum saja, kereta Ekonominya sedang padat merayap. Dua kali, tiga kali aku membalas sms. Tiba-tiba saja….
JAMMMM…… BBBBBREEEETTTTT!
Mataku terbelalak dan kuperhatikan raut wajah laki-laki itu. Juga raut wajah laki-laki di sebelahnya. Kronologis ceritanya terjadi saat, si laki-laki sedang mengeluarkan hape dan membalas sms sepertinya. Posisi laki-laki itu ada di dekat gerbong pintu kereta sebelah kanan (berlawanan denganku, arah menuju Jakarta Kota). Dan saat itu, mungkin hapenya tidak terpegang dengan kuat, dan berhasil dijambret dari luar kereta. Pelakunya padahal hanya seorang anak-anak. Saat itu, terdengar suara hape terjatuh sangat keras.
PRANGGGG!
Dan laki-laki bertopi itu berkata, “Mas, hapenya?” Dan dengan wajahnya yang kebingungan, laki-laki berkemeja kotak-kotak itu pun merespons, “Biar saja, hapenya sudah rusak kok, Mas.” Kulihat masih tersimpan tanda tanya dan kebingungan di raut wajahnya. Aku pun masih lekat memperhatikan kedua laki-laki itu. Sayang kan kalau dilewatkan begitu saja.
Semoga kisah nyataku kali ini, di pagi yang mellow yellow, bisa lebih mengingatkan Anda semua, Friends, “Waspada di manapun Anda berada! Jangan kebanyakan Gaya kalau lagi di jalan! Okay, Met aktivitas, salam sayang selaluhhhhh….. :)

India: A Hot Kiss for You


“Cha, sini naskah Travelling-nya Bila yang kerjain! Atau, sebagian kamu, sebagian aku?”
“Jangan, Bil… kalau mau yang ngerjain satu orang saja, nanti laen gaya.”
Terlihat senyum simpul dari balik kerudung wanita yang katanya pecinta kopi dan cokelat ini. Aku pun bergegas membalas senyumnya itu, sambil sesekali memainkan laptopku yang sudah ada di hadapanku. Terlihat pada layar desktopnya berjuta potoku dengan berbagai gaya. Hehehe…
Kumulai aktivitas hari itu dengan membaca “Bismillah” memastikan agar semuanya berjalan dengan lancar. Dan berharap, hari itu ada panggilan kerja dari sebuah perusahaan kepadaku. Namun, bukan panggilan kerja yang kudapat, tapi panggilan dari atasanku yang memintaku untuk mem-proofread naskah “Travelling” itu.
“Bil, tolong naskah ini di proofread saja, karena sudah Mbak edit. Hanya hal-hal kecil saja yang patut diperbaiki.”
“Iya, Mbak.”
Saat kali pertama menyentuh naskah itu, yang terlintas di bayanganku adalah BOSAN. Bayangkan saja, tebal halaman hampir 300 lebih. Harus dikerjakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Namun, aku tak menyerah meskipun rasanya sejak surat kontrak kerjaku tak diperpanjang, aku ingin bunuh diri saja. Merasa bahwa aku sudah lagi tak berguna bagi kedua orangtuaku. Aku membaca kemudian naskah itu, perlahan dan penuh penghayatan. Aku tak ingin melewatkan naskah yang mengupas tuntas tentang Negara yang terkenal akan Taj Mahal nya.
Taj Mahal, I am Coming
Salah satu subbab yang kubaca berulangkali. Penulis, Mbak Ade berhasil membuatku begitu terharu membaca bagian itu. Di mana penulis mendeskripsikan Taj Mahal dengan apa adanya. Taj Mahal, sebuah bangunan yang didirikan oleh Shah Jahan untuk istri ketiganya, Mumtaz Mahal yang meninggal karena hendak melahirkan anak ke-14 nya. Sebelum masuk ke dalam Taj Mahal, akan terlihat sebuah kursi yang pernah dipakai oleh Ratu Diana saat Ratu berkunjung ke Taj Mahal. Tak jarang banyak turis atau warga India yang berpose untuk mengabadikan momen-momen itu. Ketika, masuk ke dalam Taj Mahal, akan terlihat berjuta-juta pahatan-pahatan yang menggambarkan tentang bagaimana hubungan sepasang suami istri itu dilukiskan secara vulgar. Sungguh, ketika kau melihat pahatan itu, kau akan tertegun atau bahkan berpikir “Betapa hebatnya pemahat dan desainer Taj Mahal itu!” Karena bentuk pahatan itu bukan seperti pahatan, tapi mirip seperti manusia.
Rickshaw Wallah
Namun, ada pula bagian subbab yang membuat hatiku terenyuh. Di mana masih terdapat rickshaw. Ya, sejenis becak tapi menggunakan jasa manusia. Yang menarik rickshaw wallah ini adalah manusia, bukan hewan atau menggunakan jasa mesin. Biasanya wallah kerap ditemui di pasar. Atau mengantarkan para turis berkeliling. Penggunaan rickshaw sebenarnya pernah dilarang oleh pemerintah India, tapi pada akhirnya ada satu daerah yang bernama Calcutta yang tetap memberlakukan rickshaw ini.
To be Continue….. (Masih ingin menuliskan kembali tentang India, Tunggu saya besok)

25 or 31


“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah diciptakan-Nya untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu mendapat ketenangan hati dan dijadikan-Nya kasih sayang diantara kamu. Sesungguhnya yang demikian menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir.” (Ar-Rum, 21)
Kata siapa saya nggak ingin menikah? Masak pingin menikah harus menumbar kepada semua orang. Terharu kalau membaca arti dari surat Ar-Rum, 21 itu. Sering kali pula berpikir, “Sudah umur 25 tapi, belum diperlihatkan tanda-tanda akan bertemu si Jodoh. Di manakah dia?”
Sewaktu usia saya masih menginjak ke 23, hasrat untuk menikah begitu menggebu. Gelar S1 sudah didapat. Pekerjaan sudah menetap. Tabungan pun terus merayap. Apalagi yang saya inginkan? Tentunya, menikah. Namun, Tuhan belum mentakdirkan saya untuk memiliki suami di usia 23. Berlalulah ia.
Hingga tak sadar usia pun bertambah. Di usia ke 24 ini, saya masih bersemangat dan beristikharah dengan apa yang saya lakukan sehari-harinya. Aktivitas kantor menyita waktu saya. Hingga, tak ada lagi celah tersisa untuk berpikiran yang macam-macam. Kehidupan kos pun teramat membantu saya dalam menangani kesepian yang menyerang di setiap malam.
Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri. Saya kesepian. Saya sudah seharusnya berumah tangga seperti teman-teman lainnya. Tapi, Tuhan belum memberikan restunya kepada saya. Apa saya harus melawan? Apa saya harus memaki-makinya? Tidak…. Itu tak seharusnya saya lakukan. Pengalaman gagal menikah di tahun 2009 seharusnya memberikan hikmah yang luar biasa kepada saya. Kalau tidak, mungkin saya akan menjadi Nyonya Muda yang punya segudang aktivitas. Jauh dari keluarga. Jauh dari orang-orang tercinta. Biarlah, saya ikhlas. Rela bahkan, dia menjadi miliknya.
Kini, usia 25 mendekati saya dengan begitu akrab. Pekerjaan yang bikin saya “santai” setiap harinya. Bagaimana tidak santai, kantor masuk pada pukul 08.00, dan saya bisa datang pada pukul 07.50. Belum lagi, saya bisa bekerja sambil memakan cemilan atau bahkan makanan berat sekalipun. Ditambah lagi, gaji double di hari weekend. Subhanallah, nikmat-Nya memang luar biasa. Semakin banyak kita bersyukur, Tuhan pasti memberikan lebih bagi kita. Itu terjadi pada saya.
Sayang, lagi-lagi saat saya harus menghadiri pernikahan teman. Semua itu musnah seketika. Saya tak lagi bisa merasakan nikmatnya dunia. Saya meleleh saat berada di pelaminan teman. Berfoto dan mengucapkan “Selamat” kepada mempelai. Saat itu, hanya terucap, “Ya Tuhan, kapan saya bisa seperti ini?”
Sejujurnya, saya pribadi belum ingin menikah, tapi saat melihat sorot mata Ibu yang sudah semakin tua dan berharap secepatnya mendapatkan pasangan, saya ingin segera mengakhiri masa lajang saya. Tapi, saya ragu, apakah di usia ke 25 ini? Padahal, bulan Juli 2012 besok, saya ingin melanjutkan studi saya. Setidaknya, mengurangi rasa kesepian yang mendera sembari menunggu sang Jodoh. Dan, beraharap saat usia saya menginjak 31, saya bisa naik ke pelaminan dan ada seseorang yang memasukan cincin ke jari manis saya. Coba tebak, apakah saya akan menikah di usia ke-25 atau ke-31?

2/3 Malam


Dua minggu lalu, aku masih bisa tersenyum. Tersenyum menghadapi apa yang akan terjadi ke depannya. Namun, malam tadi berbeda dengan malam lainnya. Masih bisa kurasakan empuknya kasur busa. Masih kurasakan tubuh ini hangat terbalut selimut. Tiba-tiba aku berpikir, “Apakah aku harus terus dalam keadaan seperti ini ke depannya?” “Apakah Dewi Fortuna akan terus merangkulku dari belakang?” “Apakah aku akan terus berada dalam zona nyaman?”
Penat yang kurasa. Sesak menghimpit dada. Air mata pun jatuh seketika. Aku lemah ternyata. Aku tak kuasa menahan derita. Aku galau. Aku gelisah. Aku putus asa. Kaki ini berjalan perlahan. Meraih pintu toilet dan membasuh wajah ini dengan sucinya air wudhu. Satu tetes air mata kembali hadir. Lama kelamaan, dua tets, tiga tetes, empat tetes, dan akhirnya aku tak kuasa membendung air mata itu untuk tida meluap-luap. Lega yang kurasa…
Kugelar sajadah cinta dan bergegas kupakai si ungu, mukena pemberian orangtua murid privatku. Aku teringat perkataan teman kos, “Sepertinya untuk saat ini, kamu perlu shalat Hajat deh agar kamu tahu pekerjaan apa yang sedang menantimu. Pekerjaan yang terbaik menurut penglihatan-Nya.”
Mulailah aku meniatkan hati untuk melakukan shalat Hajat terlebih dulu. Lau, kusambung dengan shalat Tahajud. Aku rapuh ternyata. Air mata ini terus meleleh. Aku teramat merindukan-Nya. Aku mencinta-Nya ternyata. Dan selama setahun aku sibuk bercinta dengan duniawi, bukan menunggunya di 2/3 malam.
Subhanallah, aku masih tetap dirangkulnya. Dan aku jatuh ke dalam dekapannya. Aku kembali melakukan ritualku dengan-Nya. Dan, kini aku harus melewati semuanya. Surat kontrak kerjaku yang sudah habis bukanlah keputusan mutlak bagiku untuk menggali rezeki-nya di Bumi ini.
@Pojok Kamar Kosan, Lenteng Agung

Developer "Nakal"

         Sebuah daerah yang hampir 6 tahun terakhir sering dilanda banjir. Selain dekat dengan pusat belanja tradisional, daerah tersebut merupakan daerah dataran rendah. Daerah yang dihuni oleh banyak perumahan warga, sebut saja KPR. Tak hanya itu, di dalam KPR itu pun masih terdapat rumah-rumah pribumi yang bertingkat-tingkat. Tak kalah jauh besarnya dengan KPR. Sayang, dari tahun ke tahun daerah itu memang semakin ramai, namun sejak ada pusat belanja tradisional terlihat amat sangat buruk.
Sewaktu aku masih duduk dibangku SMA, aku sering sekali melewati daerah tersebut. Jalan satu-satunya untuk sampai ke sekolah waktu itu hanya dengan melewati daerah tersebut. Mungkin, saat musim kemarau datang, hanya terik matahari saja yang kurasakan. Dan bisa sedikit terobati dengan menggunakan payung atau topi bila aku kepanasan. Tapi, jika musim hujan melanda. Aku terpaksa harus membayar angkot dua kali lipat lebih mahal dibandingkan saat musim kemarau. Karena angkot tersebut akan “memaksakan diri” untuk menyeberangi air yang memiliki kedalaman tinggi saat hujan datang. Jika tidak memungkinkan untuk menyeberang dengan selamat, aku harus turun dari angkot tersebut dan bersahabat baik dengan air yang terbilang kotor itu lalu kembali pulang ke rumah.
Pernah juga sekali seumur hidupku, aku menyeberangi genangan air yang tinggi itu dengan menggunakan becak. Alhasil, aku hampir terbawa oleh arus. Untung saja, Allah masih menyelamatkanku. Aku pun selamat dari arus air itu. Dan kapok untuk tidak melakukan hal itu lagi. Lebih baik aku bolos atau menunggu hingga genangan air itu surut.
Saat ini, setiap pagi, saat hendak pergi ke kantor, selalu aku merasakan bau yang tak sedap. Bau busuk dari sampah yang berserakan di mana-mana. Lalat beterbangan ke sana-kemari. Fungsi TPU yang sudah disediakan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Teramat sangat disayangkan. Dan yang sangat memperparah keadaan adalah bangunan KPR baru yang selalu bertambah dari tahun ke tahun. Semua itu ulah “developer” nakal yang dengan sengaja membangun beratus-ratus KPR di daerah itu.
KPR yang “sengaja” dibangun di area tersebut memang terlihat sederhana dan “mungkin” terbilang murah. Menurutku, KPR itu cocok sekali bagi para pengantin baru. Pastinya, pengantin baru akan mencari KPR yang memiliki uang muka “murah” dan cicilan yang tidak terlalu mahal. Parahnya lagi, pembangunan KPR itu sepertinya kurang berkualitas dan kurang begitu diperhatikan oleh developer. Lahan luas dan kosong yang awalnya merupakan dataran rendah, malah dibuat meninggi dengan menumpukkan tanah yang hampir sebagian besar terdapat sampah di dalamnya hingga membentuk sebuah gundukan yang tinggi. Bahan-bahan yang digunakan terbilang tidak awet. Contoh kecilnya saja, fondasi KPR itu terbuat dari batu batako bukan batu bata asli. Bayangkan saja, apabila KPR itu hendak direnovasi oleh si pemilik, mungkin akan sangat terkejut karena tanah di rumahnya dipenuhi oleh sampah yang tertimbun di dalamnya. Di sekeliling KPR itu pun terdapat TPU yang sampahnya tidak pernah habis. Mungkin karena masih terdapat pusat belanja tradisional itu. Jadi, sampah masih terus menggunung setiap harinya.
Kini, hampir sebagian KPR itu telah terisi oleh warga pendatang. Dan sang developer ”nakal” itu pastinya sedang menikmati hasil usahanya. Semakin banyak pendatang yang menempati KPR itu, maka akan semakin banyak juga KPR yang akan dibangun kembali di daerah tersebut. Bayangkan saja, tiba-tiba banjir melanda daerah itu kembali. Meskipun KPR itu sudah ditinggikan, mungkin hanya dalam jangka waktu pendek saja bisa bertahan, selebihnya gundukan tanah itu akan terkikis perlahan-lahan. Pendatang pasti akan terkejut dan merasa ditipu oleh sang developer. Lalu apa jadinya kalau sudah begitu. Siapa yang patut dijadikan kambing hitam?

***













Jumat, 04 November 2011

How To Write Short Story

Actually, since I was at Elementary School, my teacher always asked me to follow a writing competition. In the past, I did not understand what writing is? How to make an interesting story? How to relate a word to be a sentence or a paragraph. But, when I grew up, I learn a little bit about writing is. I also do my hobby. I first started to write what I felt in a diary. Follow more competition at school. Finally, I decided to write as long as I can and I have a spare time.
As you know, I have already written two books. Both of them is written based on my real experience. So, I really love them. Here, I want to share to you, the way supporting you to be a writer. J Check it out!
  1. Don’t too much think. When there is an idea in your brain, just write. Everything. Don’t stay your idea for along time.
  2. After writing it, try to write with a quick speedy. Don’t read your written until you finished writing.
  3. Try to write everything for an hour until two hours. Don’t stop if you still want to continue your writing.
  4. After you write many pages. First you have done is, read it more. Then, try to think whether it is logically correct or not. When you read your writing, act as you are a reader, not a writer.
  5. When, it is fully okay to continue for the next step, edit it! Slowly. Make sure that all you have wrote perfectly edit, even if for the cohesive or coherence.
  6. Finally, you can submit it to all publishers. Wait for the result, do the same steps. Write…. Write… Write….

I think that’s all for sharing what I have done before I have a book. Do it now and don’t delay it! Think that write something can make your life feel happy!
Good luck. J